Pendidik yang Baik
Hajinah pendidik yang cakap. Terbukti, dia diminta mengajar di beberapa sekolah di sejumlah kota, termasuk di Magelang.
Di Aisyiyah, Hajinah menyampaikan pelajaran agama Islam terutama di kalangan kaum perempuan. Dia juga memberikan pengetahuan terkait kerumahtanggaan termasuk materi keterampilan keputerian dalam tuntuan Islam.
Hajinah konsisten berjuang, terutama di wilayah pendidikan. Perhatikan, misalnya, apa yang dikatakannya pada Kongres Aisyiyah ke-21. Secara bersemangat Siti Hayinah mengatakan: “Siapa saja yang menghalang-halangi kaum perempuan mendapatkan pendidikan adalah orang jahat dan durhaka” (Lasa Hs. dkk., 2014: h.57).
Jejak Panjang
Di antara kesan baik dari seorang Siti Hajinah adalah bahwa dia aktif berusaha memberikan ruang belajar bagi perempuan. Hal itu diwujudkannya lewat ide pendirian perpustakaan bagi kaum perempuan dan Kelompok Membaca. Juga, mengusahakan berdirinya badan penerbitan majalah khusus untuk kaum ibu. Dia mengajak kaum ibu untuk gemar membaca.
Hal monumental, di masa penjajahan, Siti Hayinah bersama Nyi Hajar Dewantara dan Nyonya Ali Sastraamidjaja aktif dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan I, 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Di kongres tersebut, dia berpidato dengan tema “Persatuan Manusia”. Acara monumental itu dihadiri oleh 1000 peserta, di antaranya ada pejabat-pejabat Belanda.
Kemudian, di alam Indonesia merdeka, Siti Hajinah aktif di Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4). Juga, aktif di Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI).
Penuh Kebaikan
Siti Hayjnah wafat pada 27 April 1991 di Yogyakarta. Atas pribadi yang dikenal baik itu, kita tak mudah untuk melupakannya. Banyak yang mengenalnya sebagai “Muslimah Pejuang Tiga Zaman”. Hal ini, karena jejak kepejuangannya terentang panjang dalam tiga zaman yaitu: Zaman penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan era kemerdekaan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni