PWMU.CO– Demi tugas menulis, peserta pelatihan jurnalistik Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Wage Sidoarjo memilih duduk ndeprok di lantai dengan menjadikan kursi sebagai meja.
Pemandangan itu terjadi di sesi praktik menulis pelatihan jurnalistik yang digelar di SD Muhammadiyah 3 Ikrom Wage, Ahad (9/1/2022).
Pelatihan ini diikuti 40 peserta utusan dari pimpinan majelis, Pemuda Muhammadiyah, Pimpinan Ranting Aisyiyah, PRM Kalijaten, PCM Sepanjang, anggota Badan Koordinasi Masjid Muhammadiyah Sidoarjo, Korp Muballigh Muhammadiyah Sidoarjo, Baitul Tamwil Muhammadiyah, klinik, guru SD Muhammadiyah 3 Ikrom, TK ABA 25, dan warga umum.
Peserta yang duduk ndeprok di lantai dilakukan barisan perempuan. Mereka berubah posisi duduk karena tidak ada meja. Panitia hanya memberi meja untuk kursi paling depan. Akibatnya peserta bagian belakang menjadikan kursi sebagai meja.
Praktik menulis yang diberikan narasumber Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Indormasi dan Komunikasi (LIK) PWM Jatim, ada dua bagian. Pertama, menulis lead berita dan profil seseorang di kertas. Tugas ini yang perlu meja. Apalagi tugas menulisnya sampai tiga kali.
Kedua, tugas membuat berita lengkap memenuhi unsur 5W 1H. Tugas ini menulis di HP atau laptop. Ternyata peserta juga butuh tumpuan tangan saat memegang HP supaya tidak capai. Bantalan kursi dipilih menjadi tumpuan lengan sambil duduk ndeprok. Peserta yang bawa laptop juga meletakkannya di atas kursi dengan duduk di lantai.
Harmini, peserta dari TK ABA 25, mengatakan, panitia kurang memasang mejanya. Demi tugas menulis, peserta mencari posisi yang nyaman dengan memilih duduk di lantai bermeja kursi itu.
Tulisan yang selesai dikirim ke grup WA Pelatihan Menulis 2022. Tulisan-tulisan itu langsung dikoreksi dan diedit oleh Sugeng Purwanto sesuai kaidah bahasa jurnalistik seperti ejaan dan kata baku.
Lima Pertanyaan
Pada sesi tanya jawab ada lima peserta menyampaikan pertanyaan. Pertama tentang penggunaan subjek di awal kalimat bolehkah pakai keterangan waktu lebih dulu?
Sugeng Purwanto menerangkan, lazimnya lead berita diawali dengan subjek who atau what. Sangat jarang memakai when di awal kalimat. ”Kecuali tulisan softnews atau feature, ada yang membuka kalimat awal dengan when,” jelasnya.
Pertanyaan kedua, apakah dibolehkan dalam menulis berita menggunakan huruf tebal. Kenapa juga ada huruf miring dalam sebuah berita.
Dijelaskan, dalam menulis berita hindari memakai huruf tebal (bold) karena tidak lazim. Kalau menganggap kata itu sangat penting tidak perlu ditebalkan tapi letakkan menjadi lead berita. ”Lead berita itu berisi hal yang paling penting dan menarik dalam suatu kejadian,” kata Sugeng.
Kalau huruf miring dipakai untuk memberi tanda pada kata asing atau bahasa daerah yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Juga digunakan saat menulis judul lagu dan judul buku.
Peserta Izzatus Nur Sobakh, mahasiswa Umsida, menanyakan, kenapa tulisannya yang dikirimkan ke PWMU.CO tidak dimuat. Setelah dikonfirmasi tulisan yang mana, Sugeng menjelaskan alasannya tidak memuat karena tulisan rapat penetapan APBD Gresik itu kejadiannya bulan Oktober 2021. ”Itu sudah basi peristiwanya. News itu harus terkini, update dan berkaitan dengan segmen pembaca PWMU.CO,” tandasnya.
Alasan kedua, tulisan itu menyalin dari media lain, bukan tulisan sendiri. ”Ini soal pertanggungjawaban berita sehingga dengan berat hati tidak dimuat,” ujarnya.
Pertanyaan lainnya soal pengambilan foto dari media lain untuk melengkapi berita kita. ”Foto itu hak cipta. Semestinya membeli. Kecuali diizinkan oleh pemiliknya untuk dipakai. Tapi ada kesepakatan tak tertulis kalau mengambil foto media lain harus mencantumkan sumbernya,” jelas dia.
Terakhir pertanyaan tentang perlindungan hukum wartawan atas produk tulisannya disampaikan Ariadi Sas, Ketua Majelis Sosial PRM Wage. Sugeng menjelaskan, wartawan dilindungi oleh UU No. 40/1999 tentang Pers.
”Menurut UU itu sengketa pers diselesaikan lewat Dewan Pers dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik,” katanya. ”Asal menulis berita sesuai kode etik maka bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Lain lagi kalau tulisan itu hoax, tanpa data akurat dan narasumber yang kompeten dan valid, sambung dia, wartawannya bisa salah. Penyelesaiannya lewat hak jawab. Yaitu narasumber diberi porsi menjawab menurut versinya.
”Kalau orang yang dirugikan tidak mau hak jawab, tapi memilih ke pengadilan bisa pakai pasal UU ITE atau KUHP. Kalau tulisan wartawan itu lemah datanya, bisa kena pidana dan masuk penjara,” tandasnya. (*)
Penulis Agustina Heki, Rangga Eka, Ahmad Fauzi Editor Sugeng Purwanto