Ketiga, modernitas yang dianut oleh Muhammadiyah juga menyebabkan tidak banyak yang berminat untuk menjadi kyai. Anak cucu kyai Muhammadiyah tidak serta-merta diistimewakan; tidak banyak orang berdatangan untuk minta barakah kepada kyai Muhammadiyah. Egalitarianisme menyebabkan kedudukan kyai dalam Muhammadiyah tidak lagi istimewa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memang terjadi penurunan kuantitas kyai dalam Muhammadiyah, dan itu berimplikasi hilangnya dominasi kyai dalam kepemimpinan. Kyai menjadi barang langka dalam Muhammadiyah. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa kuantitas ulama juga menurun.
Ada perbedaan yang sangat penting antara kyai dan ulama. Kyai adalah konsep antropologis. Seseorang menjadi kyai karena komunitasnya menyebutnya demikian. Jika seseorang itu berada di luar komunitasnya sangat mungkin tak seorang pun mengakuinya sebagai kyai. Yang terpenting adalah pengakuan masyarakat, sedangkan keilmuan dan kepemimpinan adalah persoalan kedua.
Berbeda dengan itu, ulama adalah konsep teologis, yakni orang yang menguasai ilmu agama, bertaqwa kepada Allah (yakhsya ’llah) dan membawa misi kenabian (waratsat al-anbiya’). Kualitas keilmuan seseorang mungkin bisa diukur oleh manusia, tetapi dua kualitas lainnya (ketaqwaan dan misi kenabian) hanya diketahui oleh Allah. Dengan kata lain, apakah seseorang berhak disebut ulama atau tidak, dengan tiga kriteria itu, adalah urusan Allah yang Maha Tahu.
(Baca juga: Syafiq Mughni: Ada yang Ingin Memutarbalikkan Fakta terhadap Muhammadiyah)
Bagaimana kecenderungan kuantitas ulama dalam Muhammadiyah? Dengan kualitas ilmu agama yang bisa diukur secara ilmiyah, tampaknya kuantitas ulama dalam Muhammadiyah semakin meningkat. Banyak sarjana-sarjana alumni perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti Muhammad Muqaddas dan Mu’ammal Hamidy (alm), yang tidak hanya menguasai kitab-kitab ‘kuning’ tetapi juga kitab-kitab ‘putih’.
Demikian juga sarjana-sarjana alumni perguruan tinggi di Barat, seperti Amien Rais, Syafi’i Ma’arif, dan Din Syamsuddin; belum terhitung mereka yang lulus dari program pascasarjana IAIN atau UIN. Sekalipun kualitas keilmuannya sangat layak, mereka tidak menjadi kyai karena hidup dalam komunitas modern, sebuah lahan yang sangat gersang bagi perkembangan institusi kyai.
(Baca juga: Syafiq Mughni: Agenda Penting yang Harus Dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid 5 Tahun ke Depan)
Kendati demikian, sesekali muncul juga semacam kerinduan bagi lahirnya kyai baru dalam Muhammadiyah. Wacana yang berkembang dalam Sidang Tanwir 2004 di Mataram menunjukkan keinginan untuk mencetak kyai dengan upaya membangun pesantren-pesantren baru.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah sekarang memiliki obsesi agar jumlah kyai akan meningkat sehingga tidak hanya memenuhi kebutuhan Majlis Tarjih saja, tetapi juga unit lainnya dalam Persyarikatan.
(Baca juga: Syafiq Mughni: Kebohongan Diulang 1.000 kali Terdengar seperti Kebenaran?)
Bagaimanapun, penulis berpendapat bahwa budaya yang berkembang dalam Muhammadiyah sangat tidak memungkinkan lahirnya kyai-kyai baru. Yang bisa muncul adalah ulama baru, yang mungkin bergelar ustadz, tanpa kyai. (*)
Prof Dr Syafiq Mughni MA, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Guru Besar UINSA Surabaya.