Kiai Gontor soal Kemajuan Peradaban Islam Dulu dan Masalah Umat Kini, laporan Sayyidah Nuriyah, kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Peradaban Islam Dulu dan Kini. Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor Prof Dr KH Hamid Fahmy Zarkasyi MEd MPhil menerangkannya dalam Pengajian Virtual Orbit, Kamis (13/1/2022) malam.
Sebelumnya, di hadapan Orbiters—jamaah pengajian tersebut—yang berasal dari berbagai kalangan di seluruh pelosok Indonesia maupun mancanegara, Pembina Orbit Prof M Din Syamsuddin MA PhD mengucap terima kasih atas kesediaan Prof Hamid untuk memberikan pencerahan pada pengajian itu.
Pada Zoom pengajian dwipekan itu, hadir pula artis Nini Carlina yang bertugas membaca al-Quran. Sedangkan Sarwana membaca terjemahnya. Kemudian, disambung dengan pembacaan al-Quran dan terjemahan oleh santri Pondok Modern Internasional Dea Malela.
Tradisi Majelis
Prof Hamid awalnya menerangkan tradisi majelis khalifah. Ternyata, majelis bertempat di istana. Yang memimpinnya adalah khalifah. Di sana, ada peraturan mengenai adab berbicara di majelis. Khalifah memilih para pesertanya yang terbatas dari kalangan sastrawan, fuqaha, filsuf, dan mutakallimun.
Acara tersebut meliputi debat antarpenyair dan ahli nahwu, diskusi fikih, dan diskusi kalam. Jika ulama dalam majelis itu menulis karya, khalifah akan memberi insentif yang tinggi. “Ini menunjukkan pemerintahan di dalam Islam peduli dengan ilmu pengetahuan,” terangnya.
Pimpinannya seorang yang meskipun tidak disebut sebagai ulama, lanjutnya, tapi punya kepedulian yang luar biasa terhadap ilmu. “Penghargaan terhadap ulama itu yang mahal di dalam peradaban Islam,” ujarnya.
Tradisi Menulis-Membaca
Kemudian, dalam peradaban Islam, ada tradisi menulis. Setelah itu, tulisannya disimpan dalam perpustakaan. Pada masa Abbasiyah, jumlah perpustakaan pribadi sangat banyak. Misal, koleksi perpustakaan pribadi Shihab bin Ibad mencapai 200 ribu buku dan koleksi perpustakaan al-Waqidi mencapai 600 qimathr (jilid).
Ibn Aqil mengarang kitab al-Funun sebanyak 800 jilid. “Setiap hari dia menulis 80 halaman,” ujar Prof Hamid. Dalam Tarikh Islam disebutkan, Imam al-Dzahabi berkata, “Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya.”
Untuk tradisi membaca, ada al-Hafidz Abul ‘Alaa al-Hamadzaaniy yang menjual rumahnya seharga 60 ribu dinar—sekitar 1 miliar—untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaliqy. Selain itu, ada al-Khotib al-Baghdady yang membaca Shahih al-Bukhari (7008 hadits) dalam tiga majelis. Ini dia lakukan malam mulai Banda Maghrib hingga Subuh.
Ada pula al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy yang membaca Musnad Ahmad (26.363 hadits) dalam 30 majelis (pertemuan). Artinya, dalam sekali pertemuan rata-rata membaca lebih dari 878 hadits. Kemudian Abu Ja’far al-Thabari belajar 100 ribu hadits pada usia 19 tahun.
Baca sambungan di halaman 2: Peran Pengusaha pada Ilmu