Masih Dipakai Ibadah
Kuda kami pun mulai berjalan. Rasa takut saya muncul juga. Ternyata Santo paham betul posisi duduk saya yang salah. Sambil menuntun kuda yang kami tumpangi dia memberi ‘tutorial’ menunggang kuda yang benar. Apalagi medan yang kami lalui cukup mengerikan bagi saya yang baru pertama mendatangi objek wisata ini setelah lebih dari 40 tahun yang lalu.
“Maaf Bapak, jika nati jalanan menurun, arahkan kaki ke depan kuat-kuat sedangkan badan condong ke belakangng. Kalau rute jalannya naik, panjatkan kaki ke belakang sedangkan badang concong ke depan, tangan tetap berpegangan yang kuat, gerakan badan ikuti kerakan tubuh kuda jangan tegang,” jelasnya.
Sesuai dengan tutorial yang baru saja dijelaskan, saya berusaha megikuti gerakan tubuh kuda, ternyata benar. Yang awalnya tegang saya lebih merasa enjoy. Saya lirik ke belakang, Yanti masih juga kelihatan tegang, tetapi pemilik kuda yang tidak kami kenal namanya itu selalu berusaha menenangkanya.
“Awas, Bapak jalannya menurunnya, ingat condongkan badan ke belakang, kaki arahkan ke depan!” pinta Santo.
“Siap Pak Santo” respon saya.
Sepanjang perjalanan pemilik kuda ini menceritakan sedikit sejarah tentang Gedong Songo. Sebenarnya candi ini adalah tempat pemujaan pagi umat beragama Hindu. Kompleks Percandian Gedong Songo terletak di kaki Gunung Ungaran, pada ketinggian antara 1200-1400 meter di atas permukaan laut, berada Kecamatan Bandungan dan Sumowono, Kabupaten Semarang, dan Provinsi Jawa Tengah.
Candi ini ditemukan pada tahun 1740 oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Kompleks candi ini dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan di lereng Gunung Ungaran.
“Lho, sampai sekarang apa masih digunakan untuk pemujaan nggeh Pak?” tanya saya. Sambil napasnya terengah-engah bapak yang menjadi pemandu wisata sejak tahun 1984 ini menceritakan bahwa pada hari besar agama Hindu tertentu seperti hari besar Nyepi tempat ini masih digunakan untuk pemujaan, yang melakukan bukan lagi warga Ungaran karena warga sekitar mayoritas beragama Islam, kalau ada hanya beberapa orang saja sedangkan umat yang melakukan mayoritas dari Bali.
Yang menarik perhatian saya adalah perjalanan ini adalah antara dari candi 2 dan candi 3 yang letaknya tidak begitu jauh, tetapi rute jalanya sangat menanjak. Para pengunjung yang berjalan kaki harus menggunakan tenaga ekstra, dari sini tercium aroma belereng. Saya juga mendengar suara yang sangat keras mesin disel, dan asap mengepul membumbung tinggi.
“Awas Bapak, ini jalannya sangat curam, hati-hati. Ingat ya, kalau jalanya menanjak arahkan kaki ke depan, condongkan badan ke belakang,” peringatan Pak Santo sambil memegangi kekang tali kuda kesayanganya.
Tidak lama kami dihentikan di tempat pelataran yang tidak terlalu luas hanya cukup untuk dua kuda kami. Saya melihat, pada dinding ada asap yang mengepul dari arah pusat suara meraung yang cukup keras, dari sumber suara itu mengalir air berasap mengarah ke parit sungai kesil.
Ada beberapa anak dan orang dewasa sedang berendam sambil mencuci kakinya dengan aliran air hangat tersebut.
“Ini suara apa ya, Pak?” tanyaku penasaran.
“Ini suara yang berasal dari kepunden Gunung Ungaran yang memiliki sumber air panas mengadung belerang yang cukup tinggi Bapak, bisa meyembuhkan segala penyakit kulit,” jelas pemandu yang bercucu dua ini.
Di sini sejenak saya mengamati sekeliling tebing jurang. sebenarnya kami ingin turun turut beserta pengunjung yang lain untuk berendam, tetapi Yanti tidak mau, dia ingin segera kembali.
Sebelum meninggalkan tempat, Santo meminta posel saya untuk mengambil gambar saya. “Untuk kenang-kenangan Bapak,” jelasnya sambil membidik dan mengarahkan saya untuk berpose.
Baca sambungan dihalaman 4: Masyaallah dan Subhanallah