Masyaallah dan Subhanallah
Perjalanan pun kami lanjutkan, ternyata rute perjalanan lebih ektrem dibanding rute naik tadi. Saya merasakan kuda yang kami tunggangi terlihat agak kebingungan menapakkan kakinya, sehingga saya pun semakin memopererat pegangan saya.
“Ayo, Put jalannya hati-hati” Santo membisiki kuda yang dijulukinya putra. Seolah-olah kuda itu menengar dan memahami apa yang dibisikkan Santo, jalannya pun menjadi tenang.
“Ayo Mas, jalan saja” seru Santo kepada pengunjung yang berjalan dari arah yang berlawanan.
Saya menengok ke belakang, “Pak……! Saya takut, nanti saya jatuh!” teriak Yanti ketakutan.
“Ndak usah khawatir Ibu, kudanya sudah terbiasa lewat sini,” hibur pemandunya. Perjalanan sudah sampai pada candi 1 di mana kami memulai start berpetualang.
Ketika Santo menghentikan kuda sejenak, saya menoleh, “Masyaallah, Subhanallah. Rabba maa khalaqta hadza batilan,” seru saya karena tidak menyangka bahwa rute yang kami lalaui begitu sangat mencengkan.
“Masak, itu rute yang kami lalui tadi ya, Pak Santo!” tanya saya sambil menunjuk ke arah bawah. Rute yang kami lalui sepreti garis tebal pada lukisan pemandangan alam. “Nggeh, Pak betul!” sambil menangkat jempol diarahkan ke tempat yang kami tunjuk.
Satu jam petualangan kami ini tidak terasa, seolah dalam mimpi saja. Selama perjalan Heri Santoso sangat ramah dalam memberikan pelayan kepada kami. Setiap pertanyaan dijawab dengan lancar. Dia sangat menguasai medan dan sejarah walaupun tidak bercerita secara runtut.
“Bagaimana Bapak, ada yang kurang dari pelayanan kami, jika memang ada kekurangan kami mohon maaf. Kami tunggu ‘kerawuhan’ bapak bersama keluarga,” tanya pemandu yang ramah ini untuk menutup perjalanan.
Memang betul rasanya tidak ada ruginya dengan upah yang ditawarkan dengan pelayanan yang ramah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni