Stop Label Negatif
Dokter Aisah juga menerangkan, ‘kabel-kabel’ (syaraf, neuron) di otak manusia saling menyambung sehingga membentuk ingatan.
“Data informasi yang dilihat lewat mata, didengar lewat telinga, diucapkan lewat mulut, ditangkap oleh hidung atau seluruh permukaan kulit akan masuk ke otak dengan mekanisme kimia-listrik,” jelas dia, Jumat (28/1/2022).
Maka, lanjutnya, stop melabel anak-anak dengan label negatif seperti ‘generasi galau’. “Mereka generasi rabbani- Qurani!” tegasnya. “Setiap mau menghardik, segera istighfar supaya yang keluar dari mulut kita yang baik-baik,” imbuh dr Aisah.
Melarang Vs Membolehkan Gawai
Dokter Aisah menekankan, anak butuh peran pendampingan orangtua. Hal ini sesuai riset ilmuwan pada dua ayah kembar yang sama-sama memiliki tiga anak. Bedanya, ayah A melarang anaknya menggunakan gadget (gawai), sedangkan ayah B membolehkan.
Tiga anak yang bapaknya melarang mereka memakai gawai, semua menjadi anak sukses. Ternyata, tiga anak yang boleh memakai gawai juga sukses. “Sama-sama ketika dewasa diterima di perguruan tinggi yang keren dan indeks prestasinya bagus,” urainya.
Yang membuat mereka berhasil, lanjut dr Aisah, ternyata bukan boleh-tidaknya mengakses gawai. Kuncinya justru pendampingan orangtua. “Anak-anak ambil data dari gawai, masuk (ke otak), tapi perlu didampingi agar sambungan ini nggak salah sambung!”
Nah, kalau pendampingannya keras dan kasar, maka memori (ingatan) yang terbentuk di otak juga demikian. “Malah luka, kasihan!” imbuh pakar neurosains itu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni