Sang Pendidik
Lewat posisinya sebagai dosen di Fisipol UGM, Yahya A. Muhaimin lebih berkiprah di masyarakat luas. Setelah memegang beberapa jabatan (antara lain seperti Kepala Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM pada 1983-1984), dia lalu terpilih sebagai Dekan Fisipol UGM periode 1994-1997.
Sementara, pada 1993, berdasarkan Keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah, Yahya A. Muhaimin diangkat sebagai Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah. Lalu, pada Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh tahun 1995, Yahya A. Muhaimin dipercaya sebagai Koordinator Bidang Pendidikan PP Muhammadiyah.
Pada Muktamar Ke-44 Muhammadiyah di Jakarta tahun 2000, Yahya A. Muhaimin ditunjuk sebagai Pembina Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PP Muhammadiyah. Selanjutnya, di Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang pada 2005, Yahya A. Muhaimin diangkat sebagai Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah (Hasyim dkk, 2015: h. 863-864).
Yahya A. Muhaimin diangkat menjadi Menteri Pendidikan Nasional dan itu dijalaninya pada 1999-2000. Di antara kebijakannya yang paling populer, adalah pengakuan terhadap jalur pendidikan non-formal yang dianggap setara dengan pendidikan formal (https://hi.fisipol.ugm.ac.id. 04 Oktober 2012).
Bersama DDII
Sebagai putera dari sepasang orangtua yang aktivis Masyumi, tak aneh jika Yahya A. Muhaimin juga aktif dan menjadi pengurus di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada periode kepengurusan DDII 2015-2020, Yahya A. Muhaimin dipercaya sebagai salah satu anggota pembina. Sementara, di periode yang sama, Ketua Umum-nya adalah Drs Mohammad Siddik MA.
Sebagai kader, Yahya A. Muhaimin punya catatan sangat penting dalam berinteraksi dengan M. Natsir pendiri Masyumi dan DDII. Bahwa, antara tahun 1986-1987, dia termasuk di antara sejumlah cendekiawan yang aktif dalam perbincangan serius dengan M. Natsir.
Selain Yahya A. Muhaimin, cendekiawan lain yang turut hadir di acara itu adalah M. Amien Rais, Kuntowijoyo, A. Watik Pratiknya, dan Endang Saifuddi Anshari. Apa isi dan hasil pertemuan itu?
Para cendekiawan itu melakukan wawancara intensif dengan M. Natsir. Mereka menggali pemikiran M. Natsir. Berulangkali wawancara itu dilakukan. Adapun salah satu hasil pertemuan itu, pada 1989 diterbitkanlah sebuah buku berjudul: ”Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antargenerasi” (https://adianhusaini.id 14 September 2020).
Cemerlang dan Peduli
Pada 2012, di sebuah kesempatan, Rektor UGM Prof Dr Pratikno memuji kecerdasan Yahya A. Muhaimin. Hal ini, karena sejak mahasiswa S1 dia telah menghasilkan karya tulis yang kemudian menjadi rujukan mengajar banyak pihak.
Skripsi Yahya A. Muhaimin yang ditulis pada 1970 kemudian dibukukan dengan judul Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Karya ilmiah itu adalah skripsi terbaik UGM.
Hal yang luar biasa, buku tersebut kemudian menjadi rujukan dosen untuk mengajar mahasiswa S2 dan S3. Tercatat, buku ini dicetak ulang beberapa kali.
Buku Yahya A. Muhaimin lainnya, yang berasal dari disertasinya, juga tak kalah fenomenal. Judulnya, Bisnis dan Politik; Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Seperti karyanya saat di program S1, buku dari hasil program S3 ini juga menjadi rujukan banyak kalangan.
Bagi yang mengenalnya, Yahya A. Muhaimin adalah sosok intelektual Muslim yang selalu tampil sederhana dan peduli. Di antara buah kepeduliannya, Yahya A. Muhaimin merintis dan mengembangkan pendidikan di daerah tempat kelahirannya, Bumiayu. Di sana, antara lain telah berdiri Universitas Peradaban.
Jejak Indah
Sebagian langkah kepejuangan Yahya A. Muhaimin dibukukan pada 2012. Buku biografi itu berjudul, Tiga Kota Satu Pengabdian: Jejak Perjalanan Yahya A. Muhaimin. Tentu, buku ini mencerahkan.
Kini, setelah Yahya A. Muhaimin wafat, doa Prof Haedar Nashir ini kiranya cukup bisa mewakili rasa terima kasih kita: “Selamat jalan Pak Yahya Muhaimin. Jejakmu adalah suluh kecendekiawanan yang otentik bagi kami. Semoga almarhum husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dan ditempatkan di jannatun na’im“. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni