Berkali-kali Haji
Sebagian ritual manasik haji dan umrah pernah diteladankan Nabi Ibrahim AS sebagai Bapak Tauhid. Itulah, kata Din, yang diharapkan membawa kita terliputi oleh al-birru, menjadi hamba Allah yang mabrur.
Terkait menjadi mabrur, Din menegaskan, “Itu tidak terkait gelar di depan nama kita. Apalagi yang (haji) berkali-kali, tidak menggunakan pangkat dua atau tiga.”
Yang paling penting menurutnya justru bagaimana memaknai, mewarisi, dan melaksanakan nilai-nilai ibadah haji atau umrah sepulang ke Tanah Air. “Kang Jejen, salah satu ketua MUI sekarang berfatwa, untuk berhaji tidak perlu tiga-empat kali. Walaupun mampu. Yang wajib hanya sekali,” tuturnya.
Kata Din, yang jauh lebih penting, nilai harta yang besar itu lebih baik digunakan untuk menyantuni fakir miskin, kaum dhuafa, dan beramal untuk memperkuat infrastruktur peradaban Islam.
Bahkan, Din menyebutkan ada yang lebih ekstrem pendapatnya. Yaitu tidak akan diterima hajinya yang kedua-ketiga kali, kalau dia membiarkan lingkungannya, fakir miskin, yatim piatu, dan kaum dhuafa terlantar.
“Itu ekspresi dari egoisme beragama, ingin umrah haji berkali-kali tapi kurang mengamalkan nilai umrah dan haji itu sendiri,” imbuhnya.
Akhirnya, Din mengajak yang belum haji untuk berniat sejak sekarang. “Kita berkeinginan dan berkesempatan untuk berada di tanah kelahiran al-Islam, di daerah tempat wahyu Quran turun, untuk menunaikan rukun Islam ke lima atau keempat—bergantung haditsnya,” imbaunya.
Mengingat, haji juga tapak tilas sejarah peradaban Islam. “Yang bermula dari Makkah, kemudian Madinah, terkait kehidupan Rasulullah SAW,” terangnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni