Learning Loss Al-Quran, oleh Maulana Arif Muhibbin, Pengasuh II Panti Muhammadiyah Genteng, Surabaya, tentang rendahnya baca al-Quran.
PWMU.CO – Hari-hari ini publik sekaligus Mendikbudristek waspada dengan potensi learning loss pada peserta didik. Di sisi lain learning loss pendidikan Agama Islam sangat minim perhatian dari akademisi maupun tenaga pendidik. Salah satu ruh pendidikan agama Islam adalah kemampuan membaca al-Quran. Pertanyaannya sejauh mana monitoring dan evaluasi pengembangan kemampuan membaca al Quran di tanah air?
Sebagai negara mayoritas muslim, sangat perlu memetakan hambatan pengajaran dan transformasi pengajaran al-Quran, terlebih lagi di masa disrupsi pandemi Covid-19.
Learning loss adalah hilangnya pengetahuan dan hilangnya keterampilan akademik siswa akibat berhentinya pendidikan dalam jangka panjang. Jika Unesco dan Kemendikbud menggunakan kemampuan numerasi dan literasi sebagai indikator terjadinya learning loss, maka tentu tidak berlebihan jika menggunakan kemampuan membaca Al-Quran sebagai indikator learning loss pada pendidikan Agama Islam.
Belum Bisa Mengaji
Data tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Yayasan Indonesia Mengaji menyebutkan bahwa 65 persen penduduk beraga Islam di Indonesia belum bisa mengaji. Dalam konteks pandemi saat ini jumlah tersebut diindikasikan meningkat sebab dengan diberlakukkannya PJJ, pembelajaran Al Quran pada level TPQ dan Madin nyaris lumpuh.
Jika ditinjau lebih detail lagi, learning loss pendidikan agama Islam pada sekolah umum telah terjadi pada sebelum pandemi. Argumen tersebut dibuktikan dengan alokasi waktu pelajaran agama yang hanya berkisar 4-5 jam perminggu di sekolah umum. Dari alokasi waktu tersebut belum tentu digunakan untuk belajar mengaji. Maka pondasi pengajaran al-Quran pada klaster sekolah umum sangat lemah dibanding sekolah plus dan sekolah bercirikan Islam.
Tedapat 28.000 anak yatim dan piatu yang terancam tidak bisa membaca al-Quran. Hal tersebut lantaran keluarga rentan dengan karaktersitik single parent dan miskin cenderung tidak memperhatikan pendidikan anak karena tuntutan ekonomi dan lemahnya kesadaran orangtua mengenai pendidikan Islam. Informasi yang dilansir BBC Indonesia menyatakan bahwa dampak Covid-19 menyebabkan 2,7 juta orang masuk dalam kategori miskin.
Satu hal lagi yang kian memperburuk learning loss pendididikan Islam. Yaitu anak zaman now lebih gandrung game online dan kecanduan gawai daripada mempelajari al-Quran. Fenomena ini adalah trend generasi Z dan generasi Alpha di mana mereka lahir di tengah canggihnya teknologi digital. Kajian ilmiah menemukan fakta bahwa semakin banyak waktu yang digunakan untuk game online maka semakin rendah minat belajar dan kedisiplinan beribadah.
Dapat digarisbawahi terdapat tiga hambatan yang menyumbang learning loss pada pendidikan agama Islam di tengah pandemi. Minimnya alokasi waktu pelajaran agama di sekolah umum, kurangnya kemampuan dan kesadaran pendidikan Islam pada keluarga rentan, serta fenomena game online yang melenakan minat belajar khususnya membaca al-Quran.
Ujung Tombak Sekolah Islam
Lantas bagaimana tindakan preventifnya? Mari kita tadabburi al-Insyirah ayat 5-6 selalu ada kemudahan dibalik kesulitan. Sulit tapi yakinlah semua bisa jika kita para akademisi, orangtua dan pendidik Islam bergerak bersama berjihad membumikan al-Quran di tanah air.
Point yang pertama adalah memastikan klaster sekolah-sekolah bercirikan Islam menjadi ujung tombak pengajaran al-Quran. Sekolah yang dimaksud adalah madrasah, sekolah swasta Islam, pondok pesantren dan Islamic Boarding School. Orientasi sekolah bukan tertuju pada kelulusan 100 persen tapi bagaimana 100 persen siswa mampu membaca al-Quran dengan fasih. Sekolah bercirikan Islam mempunyai previlige waktu yang sebanyak banyaknya untuk mempelajari agama Islam.
Poin yang kedua adalah memberdayakan lembaga sosial, lembaga dakwah dan komunitas Islam. Contoh nya adalah Rumah Pintar Matahari Surabaya yang mengajarkan al-Quran pada anak jalanan. Lazismu Sukun Malang yang mengadakan bimbel gratis pada anak yang tinggal di daerah minoritas muslim. Komunitas Maslah Jember yang mengajarkan al-Quran pada anak-anak petani.
Lembaga nonprofit seperti ini lebih efektif menyentuh akar rumput permasalahan pembelajaran al-Quran. Lembaga swadaya seperti ini lebih mampu merangkul kelompok rentan sehingga sangat perlu mendapat dukungan dari praktisi pendidikan Islam. Adakah komunitas seperti itu di lingkungan anda? Jika ada, bergabunglah.
Berbasis Digital
The last adalah tranformasi pengajaran Islam berbasis digital dan kekinian. Yang dimaksud berbasis digital adalah platform pengajarannya menggunakan teknologi digital screen, aplikasi dan software. Yang dimaksud kekinian adalah strategi persuasif meningkatkan minat baca al-Quran, misal dengan membuat podcast al-Quran, konten TikTok, game edukatif, dan melibatkan influencer untuk menarik minat mengaji al-Quran. Design pengajaran Islam perlu disesuaikan dengan zaman karena beginilah trend generasi Z dan Alpha. Sebagaimana pesan Ali RA “ Didiklah a akmu sesuai zamannya, karena zaman mereka berbeda”.
Kesimpulannya, klaster sekolah bercirikan Islam harus menjadi ujung tombak pengajaran al-Quran, selanjutnya pemberdayaan komunitas Islam untuk merangkul kelompok rentan, dan terakhir adalah tranformasi pengajaran Islam berbasis digital dan kekinian.
Kalau ditanya kepada Kemendikbudristek berapa jumlah siswa yang belum bisa calistung? Mereka pasti sudah punya datanya. Kalau ditanya kepada anda berapa siswa yang belum bisa mengaji? Mungkin anda akan mulai menghitung dengan jari. Tapi tolong upayakan ketika datang pertanyaan, adakah anak anda belum bisa mengaji? Semoga anda bisa menjawab, “Alhamdulillah anak saya seluruhnya pandai mengaji dan cinta al-Quran.” Amin.(*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.