Pengaruh Besar Tulisan
Ketiga, gagasan atau ide itu harus dikomunikasikan dengan masyarakat ilmiah (ruang publik). Karya opini memiliki peta pembaca tersendiri. Di mana kecenderungan pembaca menyukai tulisan yang tidak panjang, enak dibaca dan dicerna. Maka, Biyanto menyarankan agar penulis memperhatikan teknis kepenulisan yang disesuaikan dengan ketentuan dari media termasuk penggunaaan bahasa yang komunikatif dan ringkes.
Keempat, memiliki pengaruh. Menulis opini akan semakin memikat pembaca bila memiliki dampak atau pengaruh bagi masyarakat atau pengambil kebijakan.
Pria kelahiran Desa Gampang Sejati, Kecamatan Laren Lamongan ini menceritakan pengalamannya saat diundang di beberapa kegiatan seminar karena panitia membaca tulisanya di Jawa Pos dan Kompas dan tidak disadarinya memiliki pengaruh besar. Seperti tulisanya yang berjudul Imajinasi di Negara Khilafah.
Dia bercerita pernah diadili di forum seminar HTI yang tidak setuju dengan tulisan itu. Kemudian Biyanto menyampaikan siap datang untuk menjelaskan gagasanya itu. Di luar dugaannya, di tengah menjelaskan pekik takbir Allah Akbar sering muncul.
Kritik dan protes pun pernah ia terima dari pihak Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). Saat itu, Biyanto menulis opini yang berjudul Akreditasi Otomasi. Dia bercerita pernah menerima telepon dari pihak BAN PT dan dia menyampaikan tidak apa-apa. Bantah tulisan dengan tulisan saja. Jangan kemudian secara langsung dengan melabraknya atau konfrontasi ke penulisnya.
Berdasarkan pengalaman itu, Biyanto menilai dalam etika intelektualitas, sebuah bantahan terhadap gagasan seseorang jauh lebih beradap bila dilakukan pula dengan tulisan seperti halnya yang dilakukan oleh Ibnu Rusd
“Berpolemik dengan tulisan itu jauh lebih baik daripada dengan okol atau konfrontasi kepenulisnya,” katanya
Seperti halnya antara Ibnu Rusd dengan Al Ghazali mereka berpolemik melalui tulisan meskipun tidak hidup satu masa. Hal ini menunjukan intelektual yang beradab. Seperti tulisan Al Gazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang berdampak pembelajaran filsafat menjadi hilang.
Budaya rasionalisme menjadi berkurang gara-gara kritik al Ghazali kepada filsafat. Lalu Ibnu Rusd hadir membantah dengan tulisan dalam buku yang berjudul Tahafut al Tahafutyang berisi kerancuan atas kerancuan dalam tulisan karya Al Ghazali. “Ini cara yang beradab, ini bagus membantah tulisan dengan tulisan,” katanya menilai.
Baca sambungan di halaman 3: Beda Opini dengan Berita