Di era 90-an saya masih ingat betul dengan ‘perkaderan garis lurus’ yang disosialisasikan secara tertutup oleh Ketua PP Muhamadiyah Prof Amien Rais. Ternyata itu malah menyulitkan pada tataran garis strategis pemberdayaan ‘kader–kader muda Muhammadiyah’. Apalagi berbenturan dengan ‘strategi dakwah komunitas’ yang mengajak berbagai unsur masyarakat berjalan seiring dengan dakwah Muhammadiyah.
Sebagai terobosan terbaru, Muktamar ke-47 Muhammadiyah Makassar menghasilkan keputusan dakwah komunitas. Sebuah terobosan luar biasa, yang harus disambut dan direalisasikan dengan baik. Terbukti dengan pengambilan kebijakan ini banyak bermunculan kader-kader yang mumpuni yang masuk dalam ortom, majelis, dan lembaga di Muhammadiyah dalam berbagai tingkatan.
(Baca juga: Mencetak Generasi Hebat Penguasa Masa Depan)
Amal usaha Muhammadiyah, yang sejatinya sebagai media dakwah dan perkaderan pun, tidak bisa memberikan pengharapan. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan dengan pelaksanaan Baitul Arqam, Darul Arqam, dan pembinaan–pembinaan rutin. Semuanya belum bisa memberi efek yang diharapkan.
Faktanya, para karyawan AUM usai Baitul Arqam, mereka pulang ke rumah kembali pada “pos”-nya masing–masing. Yang dengan sadar maupun terpaksa bergabung dengan ranting di tempat tinggalnya masing–masing bisa dihitung dengan jari. Hal ini terjadi karena kegiatan perkaderan tidak mampu melepaskan diri dari bingkai ‘seremonial-formalistik’ atau ‘kegiatan setor absen’ sehingga tidak ada proses transformasi ilmu dan pengalaman dalam ber-Muhammadiyah.
(Baca juga: Setan pun Butuh Liburan, Refleksi Kiprah Kebangsaan Muhammadiyah di Tahun 2016)
Karena itulah Dr Abdul Haris, Ketua PDM kota Malang pernah menyampaikan akan menindak tegas karyawan AUM yang tidak mau bergabung di ranting. Inilah salah satu diskresi yang harus diambil sebagai sebuah langkah yang solutif. Solutif berarti segera menyelesaikan problematika perkaderan tersebut melalui tahapan yang perkaderan model Kyai Ahmad Dahlan, yaitu: Pertama, Perkaderan Informatif (informative).
Model perkaderan ini hanya bertujuan untuk membuat orang paham dan mengerti. Perkaderan dalam model ini hanya dimaksudkan untuk mengisi “kepala” seseorang, memberikan materi dan pengertian ber-Muhammadiyah melalui pilar keluarga dan jamaah pengajian dengan membangkitkan kegembiraan dan antusias dalam dakwah. Lihatlah bagaimana Kyai Ahmad Dahlan mengajarkan Al Maun.
(Baca juga: Setelah Ahok Tersangka: antara Lega dan Khawatir)
Kedua, Perkaderan Transformatif (transformative). Perkaderan dalam model ini tidak hanya ditujukan untuk membuat seseorang paham dan mengerti tapi juga tergerakkan. Artinya, tidak hanya mengisi “kepala” tapi juga “hati” melalui gerak bersama atau dikenal dengan research action. Maka faktor keteladanan dan solidaritas menjadi kunci perkaderan. Ini yang disebut Kyai Ahmad Dahlan dengan ‘kader kintilan’.
Ketiga, Perkaderan Reformatif (reformative). Perkaderan reformatif baru bisa dijalankan apabila perkaderan transformatif telah terlaksanakan sebelumnya. Dalam perkaderan reformatif seseorang tidak hanya paham dan tergerakkan tapi sudah melaksanakan apa yang diajarkan kepadanya. Maka di sinilah fungsi pendampingan—yang disebut Kyai Ahmad Dahlan dalam Qismul Arqa (Mualimin-Mualimmat Yogyakarta) dengan mujanib-mujanibah. Ada proses interaksi yang positif dan merasakan keberadaan jamaah Muhammadiyah.
Dari sinilah perlunya pimpinan untuk mewariskan kebijaksanaan, solutif, dan strategi. Ketika regulasi dalam sebuah organisasi telah dilaksanakan sudah disiapkan tetapi tidak memberikan sebuah harapan, maka diskresi organisasi sangat dibutuhkan. Mengutip Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Najib Hamid, perkaderan harus dilaksanakan secara bersama-sama, mulai dari yang terdekat, menyenangkan, menyentuh semua kalangan, dan diharapkan berimplikasi kebaikan bagi masa depan. Insyaallah. (*)
*) Uzlifah adalah kader Aisyiyah Kota Malang