Menahan Diri atau Tidak
Di Indonesia jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlihat semakin nyata. Pelanggaran terhadap undang-undang terjadi, upaya untuk menunda pemilu sudah mulai diorkestrasi, dan pelarangan terhadap organisasi tertentu dan pembatasan terhadap hak-hak sipil sudah terjadi.
Faktor lain yang menjadi indikasi adalah Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media, melakukan pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan-lawan politik, termasuk media.
Kasus-kasus pembebasan kebebasan sipil sudah banyak terjadi. Penangkapan dan penahanan dengan dalih yang dibuat-buat sudah terjadi di beberapa kasus. Pemakaian kekerasan terhadap lawan politik juga sudah terjadi. Pembunuhan Kilometer 50 menjadi salah satu indikator adanya penggunaan kekerasan yang didukung oleh kekuatan kekuasaan.
Tradisi demokrasi Amerika melahirkan contoh-contoh yang agung yang layak dicontoh. Salah satunya adalah the power of forebearnce atau kekuatan untuk menahan diri. Politik yang identik dengan perebutan kekuasaan akan membawa seseorang untuk bernafsu mengakumulasi kekuasaan selama mungkin.
Selalu saja ada godaan untuk berkuasa lebih lama ketika kesempatan itu ada atau memungkinkan. Vladimir Putin di Rusia menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menahan diri. Keinginan untuk berkuasa lebih lama, dengan berbagai alasan, membuat Putin berupaya memanipulasi undang-undang untuk mendukung ambisi politiknya.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo mulai menjukkan gelagat ingin menambah masa jabatannya melebihi periode yang sudah diatur oleh konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi itu bisa ditutupi dengan melakukan amandemen terhadap konstitusi yang memungkinkannya berkuasa lebih lama.
Jokowi masih punya kesempatan untuk menunjukkan the power of forebearance kekuatan untuk menahan diri, untuk tidak menambah masa jabatan, dengan alasan apapun.
Kali ini, pilihan Jokowi untuk menahan diri atau tidak, akan menentukan apakah demokrasi Indonesia mati atau hidup. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni