PWMU.CO– Pendidikan Muhammadiyah bisa saja memasuki dunia metaverse dengan membuka kelas daring digital lebih canggih memenuhi permintaan kelas virtual.
Demikian disampaikan Wakil Ketua PWM Jawa Timur Prof Dr Biyanto dalam acara sarasehan Milad ke-46 SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo bertempat di Aula AR Fachruddin, Sabtu (5/3/2022).
Prof Biyanto menyebut metaverse sebagai bagian internet dari realitas virtual bersama yang dibuat semirip mungkin dengan dunia nyata dalam dunia internet.
”Dunia metaverse ini semakin viral tatkala bulan Desember 2021 ketika pemerintah Arab Saudi melaunching Kakbah virtual, sehingga di media banyak wacana mengenai bagaimana ibadah dilakukan secara virtual,” cerita dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Lalu bagaimana dunia pendidikan Muhammadiyah menyikapi metaverse ini. ”Bisa saja Smamda nanti membuka layanan di dunia metaverse, mungkin sebagian bisa menggantikan kelas-kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu,” kata Prof Biyanto.
Menurut dia, pendidikan dan teknologi merupakan dua hal yang salin berkaitan erat satu dengan yang lain. Keduanya membangun pola hubungan sebab dan akibat yang tidak bisa terelakkan.
”Pendidikan bisa memengaruhi teknologi yang berkembang, begitu pula sebaliknya,” ujar Prof Biyanto. ”Investasi di bidang sarana fisik perlu, namun harus diimbangi dengan investasi di bidang IT, karena ini hal yang utama.”
Karakter Milenial
Biyanto juga menyoroti perlunya memahami karakter milenial. Mengutip med.com.id, Pemimpin Umum Majalah Matan ini menyebut, ada tujuh ciri karakter generasi milenial. Seperti membaca smartphone (no gadget, no life), cenderung bebas dan kreatif, terlihat santai, serba cepat dan instan, familiar dengan sosial media, hybrid, pola pikir yang terbuka.
”Selain itu, lebih dari 79 persen generasi milenial menonton televisi dari streaming, lebih dari 98 persen generasi milenial mengakses internet dan sekitar 4-8 persen milenial masih membaca media cetak,” ungkapnya
Karakter-karakter ini, bagi Biyanto penting untuk disampaikan sebagai alasan kita mengubah pembelajaran agar lebih menarik. ”Maka posisi guru di sini sangat penting. Perbaikan-perbaikan itu berawal dari guru,” tegasnya.
Jadi meskipun metode pembelajaran lebih penting dari materi, guru itu jauh lebih penting dari metode-metode. Untuk apa metode hebat, kalau gurunya tidak hebat. Dan keikhlasan pendidik ini menjadi sangat penting,” imbuhnya.
Maka bagaimana pendidikan Muhammadiyah merespon perubahan yang serba cepat ini? Dia merujuk riset UGM tahun 2018, ada tiga keinginan masyarakat atas sekolah.
Ini merupakan bagian social need. Pertama, attitude, berkaitan dengan akhlak dan perilaku.
”Jadi harapan orangtua ketikka anak sekolah adalah adanya perubahan perilaku yang lebih baik,” katanya.
Kedua, skills, atau keterampilan. Ini berkiatan dengan kemampuan siswa dalam berbahasa dan lainnya. ”Ketiga, knowledge. Ini berkaitan dengan pengetahuan dan kompetensi,” paparnya.
Perubahan yang Diwaspadai
Perubahan sosial yang cepat ini, Biyanto mengutip pemikiran Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah. Buku tersebut menggambarkan sebuah institusi itu seperti sejarah hukum alam. Lahir, kecil, remaja kemudian dewasa, tua lalu meninggal.
”Smamda itu dibangun oleh pendirinya, lalu fase kedua ada pembangun, dan tren yang diwaspadai adalah generasi penikmat. Jika sampai ada generasi penikmat, dan tidak melakukan apa-apa, sehingga kreativitas terhambat maka akan menjadi generasi penghancur kemudian institusi akan menghilang. Hukum kealaman ini bersifat alamiah,” katanya.
Agar tidak terjadi penurunan kualitas, menjadi sangat penting bagi guru memahami prinsip kerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) khususnya di bidang pendidikan.
”Pertama, perlu ditekankan adalah mendidik itu sebagai sarana ibadah (ajrun), bukan semata-mata bekerja (ujrah),” jelasnya.
Kedua, tenaga pendidik dan kependidikan harus meningkatkan keterampilan kepemimpinan dan manajerial.
Ketiga, jangan menjadi sumber masalah, namun jadilah penyelesai masalah. Keempat, yang terakhir adalah meningkatkan wawasan dan keilmuan, ini sangat penting karena menjadi fondasi kemajuan.
Bagi mantan aktivis IMM Surabaya tersebut, kata bijak yang mengatakan pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan, bisa diubah dengan spirit milenial: menjadi pemuda hari ini adalah pemimpin hari ini dan masa depan.
”Maka dari itu, kita harus pastikan bahwa pemuda hari ini bisa mengambil bagian di masa kini, dan masa mendatang,” pungkasnya (*)
Penulis Arief Hanafi Editor Sugeng Purwanto