Penceramah Radikal Tanda Pemerintah Buruk oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jatim
PWMU.CO– Penceramah radikal daftarnya muncul lagi di medsos. Apakah itu kebetulan? Bukan. Sepertinya memang disengaja. Tersebar setelah Presiden Jokowi dalam Rapim TNI-Polri meminta keluarga TNI-Polri hati-hati mengundang penceramah.
Beredarnya nama-nama penceramah radikal itu adalah cap kepada orang-orang yang tidak disukai. Orang-orang yang suka mengkritik pemerintah. Memberi stigma negatif supaya dihindari dan tak didengarkan omongannya. Dituduh radikal katanya karena anti Pancasila dan pejuang khilafah.
Daftar nama penceramah itu dikelompokkan dalam HTI 42 orang, Wahabi 96 orang, dan Ikhwanul Muslimin 40 orang. Ada nama-nama populer masuk seperti Ismail Yusanto, Felix Siauw, Ustadz Abdul Somad, Prof Suteki di kelompok HTI.
Di kelompok Wahabi terdaftar nama populer seperti Ustadz Adi Hidayat. Lalu Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Firanda Andirja, Khalid Basalamah, Syafiq Reza Basalamah. Nama almarhum Tengku Zulkarnain juga masuk di sini padahal dia mubaligh Jamaah Tabligh yang jauh dari kesan Wahabi.
Nama di kelompok Ikhwanul Muslimin ada H Ahmad Heryawan Lc MSi, mantan Gubernur Jawa Barat. Ternyata rakyat Jawa Barat suka dengan orang radikal. Buktinya dia terpilih dua periode.
Juga ada Salim A. Fillah, mubaligh dan penulis dari Yogya yang ahli sejarah. Anehnya lagi bintang film Astri Ivo yang sangat cantik itu, yang jauh dari bayangan radikal, tega-teganya juga dimasukkan. Nama Hanan Attaki, dai milenial yang punya ribuan penggemar juga tercantum.
Daftar penceramah radikal ini tentu jadi perdebatan. Tapi suka-suka orang yang bikin daftar. Mumpung lagi berkuasa. Pengaruhnya hanya di masjid pemerintah. Takmirnya tidak berani lagi mengundang nama itu. Namun rakyat abai saja dengan daftar itu. Saat pengajian tetap saja mengundang mereka. Mendengarkan ulasannya yang mendalam, tajam, mencerahkan, dan mengejutkan.
Paling-paling akan menghadapi ulah gerombolan Ormas yang suka membubarkan pengajian meskipun gerombolan ini suka berkoar-koar paling toleransi dan dakwah rahmatan lil alamin.
Cermin Kebijakan Buruk
Kalau dilihat dari hukum sebab akibat, munculnya penceramah radikal adalah tanda kondisi pemerintah yang buruk. Penceramah ini mewakili suara rakyat yang ngrasani pemerintah di warung kopi.
Rasan-rasan antre minyak goreng, menteri bisnis PCR, utang pemerintah membengkak, pembangunan jalan tol, omnibus law, Pancasila yang jadi trisila-ekasila, perkara batu Wadas, pembunuhan enam laskar FPI, anak menantu presiden jadi wali kota, perusahaan anak presiden dapat dana besar, kereta api cepat yang menguras APBN, BPJS, janji-janji kampanye, dan sederat kebijakan lainnya.
Rasan-rasan rakyat ini yang diangkat oleh penceramah karena mereka punya mimbar, panggung, dan kompetensi untuk menyampaikan. Sudah tugas juru dakwah untuk amar makruf nahi munkar. Semangatnya qulil haqqa walau kaana muran. Sampaikan kebenaran walau terasa pahit. Kalau yang disampaikan itu kritik kebijakan pemerintah maka risikonya dapat cap radikal, ekstrem, anti Pancasila, intoleran, anti binneka. Zaman Orde Lama dan Orde Baru juga begitu.
Dalam sejarah imam-imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad juga dituduh radikal oleh penguasa di zamannya. Bahkan masuk penjara dan disiksa.
Pada akhirnya rakyat tetap menghargai keilmuannya dan banyak penganutnya hingga di zaman sekarang. Namanya abadi sebagai orang-orang mulia. Sementara pemerintah bobrok bertumbangan meninggalkan catatan sejarah kelam.
Pangeran Diponegoro yang sekarang jadi pahlawan itu super radikal karena menentang pemerintah kolonial hingga pecah Perang Jawa lima tahun. Sukarno itu juga radikal. Waktu mahasiswa berani mengkritik penguasa kolonial. Karena itu dia diadili dan masuk penjara. Kalau saja pemerintah kolonial itu baik hati kepada rakyat tentu tidak ada kritik dan perlawanan.
Jenderal Sudirman itu juga radikal. Sudah dilarang Sukarno perang, disuruh memilih menyerah dan ditawan Belanda, masih saja Sudirman memimpin gerilya.
Begitu juga sekarang. Kalau saja tidak ada antre minyak goreng, kebijakan pemerintah baik-baik saja sesuai dengan janji kampanye menyejahterakan rakyat, murah sandang pangan seger kuwarasan, tidak bakal muncul penceramah radikal. (*)