PWMU.CO – Muhammadiyah perlu banyak melahirkan influencer, tetapi bukan influencer yang banyak mengekspose kehidupan pribadi, melainkan yang dikenal karena intelektualitasnya.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Dr Muchlas MT dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah 2022 dengan tema Media, Masyarakat Digital dan Dakwah Muhammadiyah, Kamis (10/3/2022).
Menurut Muchlas, istilah digital itu telah lama muncul dan ia kenal 30 puluh tahun lalu saat menempuh mata kuliah teknik digital. Akan tetapi saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Digitalisasi dalam kehidupan kita ini sudah sangat luas, sehingga kita merasakan distrupsi itu sangat cepat dan kita seolah-olah menjadi korban dari distrupsi. Oleh sebab itu Muhammadiyah perlu membuat formula agar bisa berperan aktif dalam hal ini,” katanya.
Menurut Muchlas, pandemi saat ini meskipun bukan menjadi distruptor utama, tapi mampu mengakselerasi dunia teknologi digital lebih-lebih di dunia pendidikan.
“Oleh sebab itu kita bisa merasakan betapa platform-platform digital pendidikan yang dibuat itu menjadi sangat akseleratif perkembangannya dan literasi digital kita menjadi meningkat,” tuturnya.
Matinya Kepakaran
Dalam menyampaikan materi Dunia Digital dan Matinya Kepakaran, Muchlas menjelaskan, istilah the Dead of Expertise (Matinya Kepakaran) diperkenalkan pertama kali oleh Tom Nichols, seorang profesor di akademi perang Naval Amerika Serikat.
“Matinya kepakaran ini dimaknai sebagai penolakan terhadap pengetahuan yang sudah mapan, sains dan rasionalitas yang memihak. Bahkan menunjukkan pula bahwa pendapat yang salah dapat dianggap benar,” katanya.
Dia juga menjelaskan, dalam era matinya kepakaran ini, kebenaran tidak lagi diukur karena substansinya. Melainkan dari berapa banyak seseorang mendapatkan like, serta seberapa banyak seseorang menyampaikan opini publik, maka itulah yang diminati dan disukai oleh masyarakat.
“Jadi, sosial media itu ibaratnya warung kopi. Di sana ada yang benar-benar pakar, tapi diam saja, sehingga kurang diminati. Sementara yang bukan pakar, tapi banyak bercerita, senang berkomentar, yang bukan pakar tapi pintar omong, bercerita, luwes itulah yang banyak diminati,” ucapnya.
Ketua Majelis Pustaka Infomasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini lantas mempertanyakan, apakah kepakaran benar-benar telah mati?
Menurutnya, kepakaran itu tidak mati sebenarnya, karena selama pengetahuan itu terpelihara di lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, di perguruan tinggi, amal usaha persyarikatan, maka kepakaran tidak akan pernah mati melainkan yang mati adalah desiminasi.
Perlu Intelektual Influencer dan Dai Influencer
Sehingga, menurutnya, langkah bijak perlu direncanakan dalam menghadapi realitas era sekarang, yang sebenarnya memberikan lahan subur bagi para pakar untuk mempelajari landskap desiminasi keilmuan yang bergeser.
“Maka di Persyarikatan Muhammadiyah ini agar para intelektualnya di kalangan kampus bisa memerankan diri sebagai influencer, paling tidak bisa menyesuaikan diri bagaimana kita bisa menguasai platform sosial media agar bisa mewarnai dakwah-dakwah kita,” ujarnya.
Karena bisa jadi, imbuhnya, dalam dakwah persyarikatan juga terjadi matinya keulamaan, karena proses desiminasi kita, keilmuan yang kita bangun ini tidak efektif, tersumbat, sehingga warga mencari cara lain lewat sosial-sosial media yang sebenarnya itu tidak melalui verifikasi.
“Muhammadiyah perlu menggalakkan para intelektualnya, para dainya mulai mempelajari lanskap dakwah amar makruf nahi mungkar kita berbasis kepada teknologi digital. Dengan cara seperti itu, maka saya memimpikan dosen-dosen kita menjadi influencer dari intelektualitasnya bukan dari ekspose pribadinya,” katanya.
“Kita juga berharap, di persyarikatan muncul dai-dai yang bisa dengan luwes dan diterima kalangan-kalangan muda warga net sehingga bisa meningkatkan dakwah Muhammadiyah,” harapnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni