Opini oleh Prima Mari Kristanto *)
PWMU.CO – Tekanan beberapa pihak terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang marak belakangan ini sangat disayangkan. Bahkan seorang pejabat negara ikut menyatakan bahwa Fatwa MUI mengancam kebhinnekaan. Waduh!
Kelahiran MUI pada tahun 1975 tidak lepas dari tokoh legendaris Muhammadiyah: Buya HAMKA. Maka sudah sepantasnya jika warga Persyarikatan Muhammadiyah berada pada garda terdepan membela MUI dari segala bentuk penistaan. Seperti yang dilakukan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin. Beberapa media telah mengabarkan dia tampil di depan melakukan counter terhadap pernyataan-pernyataan beberapa yang mendiskreditkan MUI dengan fatwanya.
(Baca: Menunggu Jamaah Muhammadiyah di Bursa Efek Indonesia)
MUI hadir pada masa Orde Baru untuk mengawal pembangunan demi mewujudkan jargon membentuk manusia seutuhnya. Keberadaan MUI dengan fatwa-fatwanya sangat berperan dalam sendi- sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam sektor keuangan khususnya bidang perbankan dan pasar modal.
Adalah ulama berlatar belakang pendidikan Muhammadiyah KH Hasan Basri sebagai Ketua Umum MUI tahun 1983-1990 yang memelopori sistem perbankan syariah. Saat itu tidak ada yang mencemooh Fatwa MUI tentang hukum riba. Tidak ada bank-bank konvensional yang menyerang konsep perbankan syariah. Dan berangsur-angsur bank-bank konvensional berburu Fatwa MUI demi pembukaan Unit Syariah dan pengembangan produknya. Demikian pula yang terjadi di pasar modal.
(Baca juga: Holding Surya Mart Belum Terlambat, Berharap Muhammadiyah Lebih Serius)
Bhinneka Tunggal Ika sesungguhnya telah diterapkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai otoritas pasar modal. Lakum dienukum waliyaddin juga dijunjung tinggi di BEI. Tidak ada gesekan sedikit pun dalam penyampaian 16 Fatwa dari MUI untuk Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2001 hingga kini.
Tidak ada yang mengatakan, “Jangan mau dibohongi pakai Fatwa MUI.” Tidak ada aparat keamanan yang memaksakan diri untuk intervensi Fatwa MUI. Para pelaku bursa telah terbiasa berbeda pendapat. Analis satu dengan analis lain yang ekstrem dan berlawanan dalam menganalisa terbiasa santai karena ada pasar atau publik sebagai penilai yang jujur.
(Baca juga: Kala Haji Sudjak Dianggap Gila, Apakah RS Muhammadiyah Holding Company Juga Ide Gila?)
Demikian juga pada saat diluncurkan Jakarta Islamic Indeks (JII). Tidak ada tuduhan Islamisasi Bursa Efek dan sebagainya. JII adalah kelompok emiten syariah yang disusun oleh Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2000. Berisi 30 efek syariah saham yang paling likuid untuk memudahkan investor memfokuskan pada saham syariah tertentu di antara banyak saham syariah lainnya. Terbit setiap bulan Mei dan November setelah diterbitkannya Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).
Adapun Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) berisi keseluruhan efek syariah dari seluruh sektor dan lapisan. Penerbitannya melalui sejumlah screening keuangan dan usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Baca sambungan di halaman 2: Sebagaimana JII, ISSI juga diterbitkan ….