Tadabur alam ala Baitut Tanwil Muhammadiyah (BTM) Dinar Nasyiah, laporan Khusnatul Mawaddah, Kontributor PWMU.CO asal Bojonegoro.
PWMU.CO – Sensasi keindahan Gunung Bromo yang menginspirasi perjalanan para anggota BTM Dinar Nasyiah pada Jumat-Sabtu (12/3/22). Perjalanan nge-trip bersama teamwork Baitut Tanwil Muhammadiyah (BTM) Dinar Nasyiah, Kabupaten Bojonegoro, menjadi momen yang sangat menginspirasi.
Perjalanan dimulai dari kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bojonegoro, Jalan Teuku Umar Masjid At-Taqwa Bojonegoro. Begitu antusias para perempuan muda Nasyiah dari beberapa kecamatan. Geliat usaha yang membidangi sektor finansial, yakni BTM menjadi pilot project Nasyiah di Jatim.
Pengelolaan yang fleksibel namun transparan membuat anggota BTM semakin banyak. Hingga saat ini BTM Nasyiah 1 dan 2 mencapai 2500 anggota, BTM Dinar Mulia yang digelontorkan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kota Bojonegoro ada 350 nasabah aktif dan BTM Dinar Setia sekitar 550 nasabah aktif menabung dan meminjam.
Jika dikalkulasi ada sekitar 20 milyar dana yang diputar teman-teman Nasyiah dari 4 BTM yang ada di wilayah Bojonegoro kota dan Sumberrejo. Menjadi prioritas kedepannya, BTM harus mampu berkembang sehat dengan managemen sistem yang profesional. Pemilihan nasabah, sosialisasi standar operasional prosedur (SOP) meminjam dan menabung, serta pengelolaan data base nasabah selalu ditingkatkan.
Nge-trip kali ini sengaja memanjat gunung Bromo yang terbesar di Jawa Timur untuk melihat kekuasaan Allah tentang penciptaan alam. Alam semesta ini butuh harmoni dengan kehidupan kita, manusia tak boleh semena-mena mengeksploitasi sumber alam dan kekayaan flora faunanya.
Ada lima tujuan wisata alam yang menjadi daya pikat aktivis Nasyiah, yaitu puncak gunung Bromo, bukit savana, teletubis , pasir berisik, pantai di Probolinggo, dan terakhir di pasar oleh- oleh khas Probolinggo. Perjalanan dimulai pukul 20.00 dan sampai Bromo pukul 06.00. Adapun jumlah peserta dari empat BTM dan pengurus daerah Nasyiah sebanyak 37 peserta.
Bawa Tiga Misi
Saya menyempatkan diri ikut serta karena kebetulan dipercaya BTM Dinar Setia sebagai pengurus. Ada tiga misi dalam perjalanan menuju Gunung Bromo. Pertama ingin tahu kehidupan perekonomian orang-orang di wilayah Bromo. Kedua, sebagai intropeksi diri, serta yang ketiga sebagai terapis healing setelah dua tahun merasakan pandemi Covid-19.
Perjalanan menggunakan jasa travel Warok dan bus Scania transjava, driver, dan pemandunya, cukup lincah sehingga meski macet tetap tenang dan kondusif .
Perjalanan menuju lokasi Bromo sempat macet selama dua jam karena ada longsor di area jalan menuju gunung. Longsor ini karena semalam hujan deras dan tentu mengganggu pengguna jalan. Evakuasi tanah longsor membuat macet yang sangat lama. Jajaran mobil jeep menjadi pemandangan tersendiri.
Planning melihat sunrise hanya bisa dilihat dari mobil jeep karena terjebak macet. Kita semua menyadari kondisi ekstrem karena cuaca hujan memang menjadi pertimbangan bagi wisatawan gunung Bromo. Cukup berani kita tetap jalan menuju Bromo meski cuaca lagi ekstrem, kadang hujan angin lebat kadang panas sebentar.
Hiburan sepanjang jalan dengan karaoke mirip Indonesian Idol menjadi media kontes yang menarik peserta yang punya passion olah vokal. Saya yang lebih suka menjadi pendengar cukup terbuai dengan suara teman-teman sampai tertidur pulas.
Tadabur Alam di Bromo
Sampai di lokasi Gunung Bromo, ada yang menunggang kuda untuk sampai ke atas. Udara dingin yang menusuk tubuh tak menghalangi nyali untuk menaiki gunung terbesar di Jatim itu. Dengan tekad bulan jalan kaki bersama lima teman menuju puncak.
Nafas yang ngo-ngosan saat naik menjadi simulasi kekuatan tubuh. Perjalanan kaki ditempuh selama 60 menit, tanjakan bersap-sap gunung, bekas aliran air menjadi sedikit licin. HIngga tiba di atas semakin terkesima melihat uap magma yang mengepul dari kedalaman kawah.
Bau belerang yang menusuk hidung, saat naik perasaan berat sangat mengganggu. Namun, karena yakin bisa naik sampai puncak, alhasil kita berlima kuat dan hanya satu yang naik kuda saat turun gunung.
Aku takjub melihat pasir berbisik yang dikelilingi gunung Bromo memutar. Hampir mirip permadani indah. Bunga Edelweis dengan bermacam warna juga menjadi lahan efektif dalam berkarya seni. Hampir semua tumbuhan yang ada di perbukitan gunung dijual dengan kemasan yang menarik. Begitu juga bukit cinta, teletubbis, serta savana. Semua menjadi daya tarik wisatawan. Penjaja bunga juga sangat senang melihat kedatangan rombongan demi rombongan.
Perjalanan diakhiri di pantai Probolinggo yang tak berombak, tenang, dan cukup nyaman dipakai istirahat saat sore hari. Sementara pihak travel tetap berkesempatan mengambil gambar di setiap momen bersama. Saya dan teman-teman terinspirasi untuk tetap menyempatkan traveling, mendekatkan diri dengan alam dan penciptanya, tadabur alam, agar ada kedekatan secara emosional bahwa alam menjanjikan lebih banyak kehidupan. Semoga kita selalu sehat. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.