PWMU.CO– Nikah beda agama mencuat gara-gara viral di media sosial foto perkawinan di sebuah gereja di Semarang.
Foto itu menuai kontroversi, karena mempelai wanita muslimah berkerudung. Mempelai pria beragama Kristen. Keduanya diberkati oleh pendeta.
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan turut angkat bicara mengenai pernikahan beda agama itu.
Amirsyah Tambunan mengutip Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 menyebut nikah beda agama itu haram dan tidak sah. ”Sudah jelas kan fatwa terkait hal itu,” katanya.
Jadi, sambung dia, MUI telah sepakat menyatakan dan memberikan fatwa jika pernikahan beda agama itu haram hukumnya menurut syariah islam. Konsekuensinya pernikahan itu tidak sah secara agama.
Senada disampaikan dosen Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Dr Slamet Mulyono. ”Ayatnya sudah tegas melarang muslimah menikahi non muslim. Wanita muslim harus kuat iman menghadapi godaan laki-laki,” ujar dia dihubungi, Kamis (17/3/2022).
Dia menyampaikan, kaum muslimin agar hati-hati terhadap tauhid. ”Umat harus lebih cermat dan hati-hati. Jangan karena materi menjadi gelap mata dan meninggalkan akidah,” katanya.
Surat al-Baqarah ayat 221 menjelaskan, janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dilansir dari hukumonline.com, menyebutkan, syarat sahnya perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 UU Perkawinan adalah:
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975).
Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat.
Sedangkan mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil.
Dalam hukum di Indonesia, syarat sahnya perkawinan agar diakui negara juga harus resmi tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Penulis M. Roissudin Editor Sugeng Purwanto