PWMU.CO – Jumat 20 Januari 2017, Amerika kembali mengalami pergantian kepemimpinan. Dari Presiden Husain Barack Obama (turn former) ke Presiden Terpilih Donald J. Trump (turn officially president of US). Berikut adalah catatan Imam Besar Masjid New York yang juga Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali, tentang pergantian kepemimpinan negeri adidaya itu.
Saya tidak sempat melihat langsung pergantian dan pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika yang baru karena dalam perjalanan menuju Indonesia. Namun saya mengikuti dari dekat melalui berbagai sumber, khususnya media sosial.
(Berita terkait: Ini Kata Imam Besar Masjid New York tentang Kekhawatiran Umat Islam Amerika terhadap Presiden Trump)
Diakui oleh banyak pihak, bahkan menjadi perbincangan ramai, bahwa kedua presiden tersebut, Mr. Obama dan Mr. Trump, memilki karakteristik yang sangat paradoks . Mulai dari latar belakang kehidupannya, kampanye politik, suasana pelantikan, hingga posisi dalam berbagai kebijakan mendasar menyangkut kehidupan publik Amerika, bahkan dunia.
Barack Husain Obama adalah gabungan anak dari seorang Ibu Amerika putih asal Irlandia dengan seorang ayah berkulit hitam asal Kenya. Asal keturunan ini minimal simbolisasi komitmen domestik Obama dan global yang imbang. Antara Native American dan immigran yang kemudian larut dalam kesatuan Amerika (United States).
(Baca juga: Apa yang Bisa Diharap dari Donald Trump yang Islamphobia?)
Presiden Obama juga pernah hidup di negara lain, dan kebetulan pula hidup di negara Muslim mayoritas Indonesia. Dia pernah merasakan hidup di tengah anak-anak Muslim, mendengar azan, bahkan boleh jadi pernah ikutan sholat di masjid (who knows). Dalam benaknya ada wajah-wajah orang Islam yang ramah, tersenyum dan bersahabat.
Barack Obama kemudian hidup di jantung kota Chicago, merasakan hidup sebagai Afro American yang masih merasakan tindakan diskriminatif warga putih. Beliau tumbuh dari kelas bawah, bergaul dengan masyarakat yang termarjinalkan. Dan itu sesungguhnya yang menjadi motivasi besar bagi beliau untuk berhasil, dan menjadikannya menembus salah satu universitas terbaik dunia, Columbia lalu Harvard University.
(Baca juga: Ini Perbedaan Sistem Pemilu di Indonesia dan Amerika Menurut Konjen AS)
Setamat Harvard Obama terpanggil untuk berjuang menaikkan harga diri dan martabat masyarakatnya. Beliau menjadi aktifis sosial politik untuk memperjuangkan mereka yang termarjinalkan. Semangat activisme ini sesungguhnya yang membangun dorongan politik dalam diri Obama untuk memperjuangkan mereka yang termarjinalkan.
Selanjutnya “model kampanye Obama yang mengarah kesatuan dan kebersamaan”…. halaman 2