Oleh karenanya motto kampanye Barack Obama adalah “yes we can” (kita mampu). Sebuah motto yang selaras dengan latar belakang pertumbuhannya (up bringing) itu sendiri. Bahwa siapa saja di Amerika, apapun latar belakangnya baik secara etnis, agama, maupun status sosialnya mampu untuk menemukan impian Amerika (American Dreams) itu.
Gaya kampanye Obama yang didukung oleh karakter kepribadian dan pertumbuhan itu, semuanya mengarah kepada kesatuan dan kebersamaan. Sehingga tidak heran, jika Obama yang dinilai bagian dari minoritas itu, meraih simpati masyarakat luas (mayoritas) putih Amerika.
(Baca juga: Belajar dari Amerika: Sebagai Simbol Negara, Presiden Harus Dihormati)
Pelantikan Barack Obama menjadi sebuah peristiwa besar yang dirayakan oleh bangsa Amerika sebagai sejarah besar. Bahwa untuk pertama kalinya seorang Afro American terpilih sebagai presiden negara adi daya itu. Pelantikan itu masih terasa gegap gempita, tidak saja di Amerika tapi hampir di berbagai belahan dunia.
Tapi yang terpenting dari semua itu, Barack Obama yang terpilih menjadi presiden setelah George W. Bush harus menerima realita jika beliau harus membangun kembali Amerika yang tercabik-cabik oleh tendensi egoistik perang Bush. Realitanya Barack Obama mampu menahan, bahkan mengangkat kembali Amerika dari keterpurukan itu.
(Baca juga: Spiritualisme Yes, Beragama No: Tantangan Baru Kaum Agamawan di Barat)
Kebijakan-kebijakan publik yang diambilnya juga memihak kaum mustadh’afin. Satu di antara kebijakan itu adalah kebijakan “jaminan kesehatan” yang berhasil diloloskan setelah puluhan tahun diperjuangkan oleh beberapa presiden sebelumnya.
Jumat 20 Januari 2017, resmilah Mr. Trump dilantik sebagai presiden Amerika yang baru. Seorang dengan sosok kepribadian yang kontras dengan Barack Obama. Kontras hampir dalam segala hal.
(Baca juga: Ternyata Isu Terorisme Tak Pengaruhi Laju Populasi Muslim di Barat)
Donald Trump adalah anak dari seorang imigran putih yang berhasil dalam bisnis. Ayahnya sendiri memberikan modal besar 100 juta USD untuk memulai bisnisnya ketika itu. Tentu modal 100 juga dolar ketika adalah jumlah fantastik. Dengan kata lain, Donald Trump tidak pernah merasakan apa dan bagaimana rasanya hidup termarjinalkan.
Selanjutnya “ayah Trump tidak mau menyewakan apartemennya kepada kelompok non putih”…. halaman 3