Tobat dan Hijrah
Orang yang bertaubat tanpa ada motivasi keimanan maka tobatnya adalah taubat-taubatan. Sedangkan mereka yang sadar dan kapok dengan keburaman masa silamnya karena dorongan keimanan, maka ia akan bertobat dengan sungguh bahkan sekaligus berhijrah dengan apa saja yang menyebabkan ia tidak dengan leluasa dalam rangka proses berubah tersebut. Maka taubatnya adalah taubatan nashuuha.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّءَاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ
Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami: Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (at-Tahrim 8).
Bersyukur karena Allah Tuhan Yang Mahakuasa adalah Dzat Yang Maha Penerima Tobat bagi hamba-hamab-Nya yang mau bertobat kepada-Nya. Senyampang kesempatan ini masih ada, maka peluang untuk kita selalu bertobat atau mohon ampun kepada-Nya setiap hari haruslah kita lakukan.
Betapa setiap waktu ada dosa yang kita lakukan kepada-Nya. Hati kita yang lebih cenderung kepada selain-Nya juga merupakan dosa-dosa yang senantiasa mewarnai diri kita. Lebih cenderung kepada duniawi dan seluruh isinya, lebih cenderung pada harapan diri supaya dipuji, dihargai, dihormati, dimuliakan, serta takut atau tidak mau jika dilecehkan, dihina, atau direndahkan.
Kadang juga merasa diri hebat, mampu, kaya, dan merasa berkuasa. Kuasa melakukan apa saja dengan uangnya. Perasaan seperti ini seringkali menjebak diri kita untuk lupa akan hakekat keberadaan diri ini. Sehingga kita menjadi nekat memiliki perasaan-perasaan seperti tersebut.
Maka tentu ada ruang dan waktu bagi kita untuk senantiasa memohon ampun atas segala kekurangan dan kelemahan perasaan kita tersebut. Dengan demikian ada upaya selalu introspeksi diri untuk tidak terus-menerus memiliki perasaan tersebut tanpa ada rasa bersalah kepada-Nya.
Di samping itu masih begitu banyaknya larangan dan perintah-Nya yang tidak kita jalankan sebagaimana mestinya. Malah seringkali kita menjalankan hal-hal yang tidak jelas perintah dan larangan tersebut. Allah SWT sungguh Maha Baik Sekali, bagaimana Allah menggambarkan dalam hadits di atas, akan rasa bahagia dan bangga kepada hamba-Nya ketika mau bertobat, yang kebahagiaan itu melebihi seseorang yang menemukan binatang tunggangannya yang telah hilang.
Padahal betapa bahagianya seseorang yang telah menemukan kembali binatang tunggangannya—yang pasti juga menjadi kesayangannya—yang hilang dan telah lama dicarinya. Tetapi Allah lebih bahagia dari orang tersebut lantaran karena taubatnya seorang hamba. Dan padahal taubat itu dampaknya adalah untuk orang yang bertaubat itu sendiri.
Iman dan Ilmu
Bertobat sangat erat kaitannya dengan iman dan ilmu. Dengan iman berarti tempat berlabuh tobatnya menjadi jelas. Dengan ilmu tobatnya menjadi jelas kebenarannya.
Maka tatkala manusia tidak memiliki konsep tobat dalam dirinya, hal ini menjadi tanda bahwa ia menjadi manusia yang tidak selamat dari ancaman siksa Allah Subhanahu wa Taala. Karena pasti ia tidak akan hiraukan sehingga dirinya bahkan merasa menjadi manusia yang sebaik-baiknya.
Padahal begitu banyak dosa-dosa yang kita lakukan tanpa terasa, sehingga nyaris menghilangkan dan melenyapkan pahala yang ada pada diri kita. Oleh karenanya jangan sampai kita menjadi hamba yang meninggalkan bartobat setiap waktunya.
Beristighfar dengan istighfar yang jelas tujuannya secara spesifik terhadap bentuk kesalahan kita. Bukan semata istighfar di lisan tetapi kita tidak merasa bahwa kita salah.
Jadi istighfar pun harus jelas perbuatan atau prilaku atau sikap apa sehingga kita harus selalu beristighfar. Dan tentu sangat banyak sekali! “Astaghfirullahal adhim”. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Ketika Allah Dicemooh dan Didustakan adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 15 Tahun XXVI, 18 Maret 2022/15 Sya’ban 1443
Discussion about this post