PWMU.CO – Hari-hari terakhir, beredar tulisan di berbagai media sosial tentang penolakan kehadiran pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq di wilayah tertentu. Tak hanya itu, juga muncul ajakan untuk melakukan tindakan serupa di berbagai daerah lainnya.
Alasan penolakan yang dikemukakan, karena menganggap (atau menuduh) FPI sebagai kelompok anti Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lantas, bagaimana sebenarnya memandang masalah ini dari sudut konstitusi yang dijunjung tinggi di negeri ini?
(Baca juga: Waspadai Pecah-Belah Umat Islam, Inilah Seruan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah)
“Punya hak konstitusional apa mereka menolak kedatangan Habib Rizieq? Secara konstitusional, di mata negara, posisi FPI mempunyai hak yang sama dengan ormas mana pun. Seorang Habib Rizieq juga secara pribadi punya hak konstitusional yang sama dengan Ketua Umum organisasi mana pun,” jelas Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP), DR Ma’mun Murod Al-Barbasy MA.
Dalam pandangan Ma’mun Murod, jika ingin melarang FPI dan Habib Rizieq datang ke tempat tertentu dan bahkan ke seluruh Indonesia, tentu ada aturan mainnya. “Minta dulu kepada negara untuk membubarkan dan membekukan FPI. Vonis dulu FPI sebagai organisasi terlarang.”
(Baca juga: Apa Beda Islam Indonesia dan Timur Tengah? Inilah Jawabannya… dan Heran, Ada Pemimpin Muslim yang Tak Percaya Hari Akhir)
Selagi tidak ada putusan apapun dari negara terkait FPI, tambah Ma’mun Murod, maka siapapun tak berhak melarang atau menolak kehadiran FPI atau Habib Rizieq. “Menolak FPI termasuk Habib Rizieq justru melanggar konstitusi,” jelas Doktor jebolan Universitas Indonesia (UI) itu.
Dalam pandangan mantan politisi Partai Demokrat ini, kalau mau menggunakan konstitusi dalam bernegara, maka pergunakanlah secara utuh. “Jangan seolah-olah menjunjung tinggi konstitusi tapi justru menganggkangi konstitusi. Menuduh FPI sepenuhnya intoleran dan anti Pancasila dan NKRI juga ngawur karena belum ada putusan pengadilan.”
(Baca juga: Jangan Pertentangkan Perbedaan Muhammadiyah dan NU! dan Muhammadiyah dan NU adalah Penopang Kemajuan Bangsa)
Bagi Ma’mun, yang anti dan bahkan merongrong Pancasila dan NKRI sejatinya para pejabat yang korup yang berselingkuh dengan pengusaha-pengusaha jahat. Yang anti Pancasila dan NKRI sejatinya adalah pejabat atau tokoh agama yang mulutnya begitu fasih bicara Pancasila dan NKRI, tapi kelakuannya tak menggambarkan sebagai seorang Pancasilais.
Yang anti Pancasila itu, tambah Ma’mun, sejatinya partai yang mengklaim diri sebagai paling Pancasilais tapi perilaku elitnya dan kebijakan partainya tak menggambarkan sebagai elit yang mengerti Pancasila atau partai yang paham tentang Pancasila.
(Baca juga: Warga Muhammadiyah juga Ahli Tahlil dan Istighatsah dan Ketika Imam Masjid Muhammadiyah Membaca Qunut)
Lebih daripada itu, ketegangan horisontal yang menguat akhir-akhir ini, terlebih ketegangan di internal ormas Islam, sebenarnya pencerminan dari organisasi atau pribadi seorang Muslim yang belum selesai dengan keislamannya. “Hal ini sebenarnya cerminan dari organisasi atau pribadi seorang Muslim yang belum selesai dengan keislamannya,” jelas Ma’mun.
Bagi Penulis buku “Anas Urbaningrum Tumbal Politik Cikeas” itu, muslim yang egois, yang lebih mementingkan ashobiyahnya, kelompoknya, ketimbang mengedepankan ukhuwah islamiyah, sejatinya Muslim yang belum selesai dengan keislamannya. (ferry yudi)