Tapak Tak Terlupakan
Jejak kebajikan Djarnawi di Muhammadiyah ada juga di lembaga perguruan pencak silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dia adalah salah seorang tokoh utama ketika Tapak Suci didirikan pada 31 Juli 1963. Jarnawi-lah yang merumuskan doa dan ikrar perguruan Tapak Suci pada upacara peresmiannya.
Pada kepemimpinan Tapak Suci yang pertama, Djarnawi diposisikan sebagai Pelindung. Selanjutnya untuk kurun 1966-1991 dia dipilih sebagai Ketua Umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.
Di Ranah Politik
Jarnawi juga aktif di bidang politik. Pada 1966-1971 dia menjadi anggota MPRS/DPR-GR. Dia menjadi Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) saat partai itu didirikan pada Februari 1968.
Pada 4 sampai 7 November 1968 berlangsung Kongres Parmusi. Saat itu, Mohamad Roem terpilih sebagai ketua umum. Sayang, Mohamad Roem tidak direstui oleh pemerintah karena mantan tokoh Masyumi. Atas situasi itu, Djarnawi lalu diangkat kembali sebagai Ketua Umum Parmusi hingga tahun 1971.
Sebagai politisi, Busyro Muqoddas punya pandangan menarik atas Jarnawi. Kata Busyro, sebagai politisi Djarnawi berkarakter, bersahaja, merdeka berpikir, egaliter dan humoris.
“Percikan kadar keislaman yang integratif dengan kebangsaannya, banyak diwarnai oleh pemikiran, penghayatan dan loyalitas original Kemuhammadiyahannya,” kata Busyro Muqoddas. Baca di sini.
Cerdas Bersiasat
Di tahun 1980-an Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan asas tunggal Pancasila. Pada Muktamar Ke-41 Muhammadiyah di Surakarta tahun 1985 Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi massa / organisasi politik. Kala itu, Jarnawi termasuk salah seorang anggota tim perumus.
Djarnawi berpandangan bahwa Muhammadiyah bersedia menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena sila Ketuhanan yang Maha Esa itu diartikan sebagai keimanan kepada Allah. Penafsiran arti sila pertama dari Pancasila tersebut, menurut dia, agar muktamar menerima asas tunggal Pancasila. Juga, supaya Muhammadiyah terhindar dari perpecahan dan pembubaran.
Pemikir dan Penulis
Djarnawi seorang pemikir dan penulis yang produktif. Sampai akhir hayatnya, dia sudah menulis sekitar 20 buku. Di luar itu, banyak tulisan lepasnya di berbagai media cetak antara lain seperti di Kedaulatan Rakyat dan Jawa Pos. Tentu saja, juga di Suara Muhammadiyahdan Suara Aisyiyah.
Tema buku-buku Jarnawi beragam. Di bidang keislaman, di antaranya berjudul Risalah Islamiyah, Kitab Tauhid, Ilmu Akhlak, Kitab Fiqih, Ahlussunnah wal Jamaah, dan Menyingkap Rahasia Maut, dan Jalan Mendekatkan Diri kepada Tuhan.
Di bidang sejarah Islam Jarnawi menulis buku Aliran-Aliran Pembaruan Islam; Dari Jamaluddin Al-Afghani sampai ke KH Ahmad Dahlan, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Derita Seorang Pemimpin; Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusumo.
Di bahasan pendidikan Jarnawi menulis buku berjudul Pendidikan dan Kemajuan. Di bidang Kristologi dia menulis Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan Kristologi.
Minat kepenulisan Jarnawi juga menyentuh fiksi. Di bagian ini, karya Djarnawi berupa novel berjudul Korban Perasaan, Penginapan di Jalan Sunyi, Orang dari Marotai, Pertentangan, dan Angin Pantai Selatan.
Djarnawi Hadikusumo wafat pada 26 Oktober 1993, di usia 73 tahun. Sebagaimana sang ayah, dia meninggalkan banyak jejak kebajikan. Berkhidmat di Muhammadiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, “mulai” dari tahun 1942 sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah Merbau, Sumatera Utara hingga wafatnya masih memegang amanah di persyarikatan Muhammadiyah. (*)
Mengenal Djarnawi Hadikusumo, Pencipta Mars Muhammadiyah ‘Sang Surya’; Editor Mohammad Nurfatoni