Menulis dengan Air Mata
Air mata saya tidak menetes sama sekali kala itu. Berbeda dengan ketika saya merangkai kata per kata tulisan ini. Berderai dan bercucuran sejak pagi. Saya tak mampu membendungnya.
Delapan bulan berlalu, kenangan menyedihkan itu masih saja melekat erat di pelupuk mata. Duh Gusti, semoga linangan air mata ini ikut menuntaskan duka, menyudahi kepedihan ini, mengiringi kepergiannya di sisiMu. Kuatkan hamba yang fakir dan papa ini. Berilah kemampuan mengikhlaskan keabadiannya. Bimbinglah kami membuka lembaran baru kehidupan kini, dan esok. Kami sepenuhnya pasrah kepadaMu, Rabb.
Setelah mendapatkan kabar kepergian istri, saya termenung pilu. Saya berdoa semoga saya kuat dan tidak terjadi apa-apa pada diri ini. Melihat kondisi pandemi yang semakin tidak terkendali kala itu, saya sebenarnya sudah berupaya mempersiapkan diri menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Jika istri mendahului, saya akan tetap berusaha kokoh dan tidak jatuh. Namun demikian, antara teori dan realita seringkali berbeda. Tentu ini bukan kebetulan.
Sebagai seorang suami, saya lara karena tidak bisa berbuat banyak. Di saat istri sakit, saya tidak bisa menemaninya. Tidak bisa membisikkan kalimat tauhid di saat sakratulmaut tiba, dan tidak bisa ikut menyucikannya. Sebagai suami, saya tentu merasa lebih pantas melakukan semua itu. Hubungan kami sudah tiga puluh tujuh tahun. Pergaulan yang luas (afdha), tanpa batas seperti al-Quran mengilustrasikan (an-Nisa: 21).
Sebagai kepala keluarga, saya juga tidak bisa menyalatinya. Saya yang seharusnya menjadi imam shalat jenazah, shalat untuk kali terakhir membersamainya. Kesempatan mengantarkan dan menguburnya pun tidak saya dapatkan. Kesempatan yang ingin saya lakukan bersama anak lelaki kami.
Hidup ini memang misteri. Saya tidak mampu menguak rahasia ini. Tuhan, Engkaulah pemilik jagad raya ini. Engkau yang mengetahui segala sesuatu. Dan tentu, Engkau yang lebih berhak segalanya.
Sempat Menjawab Pesan
Di tengah perasaan gundah, saya berbaring letih. Begitu cepat berita lelayu, ucapan bela sungkawa, dan doa menyebar di grup WA yang jumlahnya puluhan. Tak bisa dihitung yang mengirimkan pesan privat di handphone saya.
Saya menjawab dan mengaminkan doa-doa tersebut, meskipun tidak bisa optimal mengingat kondisi saya semakin lesu. Beberapa kolega juga menghubungi saya melalui telepon, seperti Prof Dr Moh. Nuh DEA. dan KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Saya menyampaikan bahwa kami bertiga sedang opname.
Alhamdulillah, ketika hati masih diselimuti dukacita, saya mendapat kiriman foto Pak Nur Cholis Huda, Wakil Ketua PWM memimpin jamaah shalat jenazah di halaman SAIM. Saya juga bersyukur bisa mengikuti doa bersama via Zoom Meeting yang mendoakan kesembuhan kami sekeluarga yang terpapar Covid-19. Termasuk yang lockdown di rumah terhitung delapan orang dan dua cucu balita.
Dengan mata terpejam, lantunan munajat Ustadz Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua PWMJatim, kami resapi dan amini bersama ratusan pemirsa: keluarga, sahabat, kolega, dan jamaah.
Bakda Asar, perawat mengecek kondisi saya. “Pak Sulthon, saturasinya turun terus. Dokter tidak mengizinkan Bapak dirawat di kamar ini. Harus pindah ke ICU. Saya siapkan ya,” pinta perawat setelah mengetahui kondisi saya.
“Ke ICU suster?” tanya saya, lemas. Malam itu saya dibawa ke ruang ICU. Saya dimasukkan dalam sebuah kamar yang sudah ada penghuninya.
Di ruangan itu, suasana agak mencekam. Suara mesin saling bersautan dan kadang diiringi suara seseorang memanggil perawat. Teman yang lebih awal menghuni kamar ICU tersebut dipindah ke kamar lain. Pagi harinya saya tanyakan kabarnya ke perawat dan disampaikan bahwa beliau sudah meninggal.
Dirujuk Ke RSUA
Selama di ICU, saya tidak tahu detail perkembangan kesehatan saya. Saya hanya dapat kabar bahwa saya akan dirujuk ke Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA). Keesokan harinya, saya dipindahkan dari RS Siti Khodijah ke RSUA menggunakan ambulans.
Itu adalah pengalaman pertama saya naik ambulans sambil rebahan. Saya dalam kondisi terjaga ketika perjalanan dari Siti Khodijah ke RSUA. Saya mencoba memejamkan mata malah terasa kepala pusing.
Sesampai di RSUA, saya menunggu sebentar dan dimasukkan ke ruangan ICU besar. Ada sekitar sepuluh penghuni. Saya diletakkan di pojok ruang: tempat yang tersisa. Ketika di ruangan tersebut, saya merasa lunglai dan mulai berat bernafas. Pandangan saya terasa berat. Mata lebih enak dipejamkan meskipun tidak tidur.
Suatu ketika, saya terbangun. Saya duduk dan di depan saya terlihat ada tenaga kesehatan (nakes) membawa sesuatu seperti bulu berwarna putih. “Hirup Pak, hirup,” pintanya. Tanpa tanya, saya langsung menghirup. Saya mencium bau wangi dan saya tidak ingat lagi. Saat itu rupanya saya sedang dibius total. Saya ditidurkan, infonya selama lima hari.
Baca sambungan di halman 3: Dipasang Ventilator