Sekolah Menulis PWMU.CO dan Pendidikan Politik, opini Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan kelahiran Madiun.
PWMU.CO – Pendidikan politik bukan hanya domain partai-partai politik, politis,i atau aktivis-aktivis yang banyak berkecimpung di dunia politik. Partai politik bisa disebut hanya salah satu dari tempat pendidikan politik di antara banyak wasilah lainnya.
Kegiatan pendidikan politik yang dilakukan partai-partai politik cenderung paket pendidikan praktis ekonomis. Praktis ekonomis maksudnya sebatas bagaimana menjadikan calon anggota atau kader partai politik menduduki jabatan publik melalui rekayasa massa, media, juga dana.
Selain partai politik, aktivitas dan kegiatan jurnalistik termasuk wasilah pendidikan politik menilik jejak politisi-politisi pendiri bangsa Indonesia. KH Ahmad Dahlan pada tahun 1915 berinisiatif mengembangkan Suara Muhammadiyah sebagai produk jurnalistik wasilah dakwah Islam berkemajuan.
Dalam perkembangannya, Suara Muhammadiyah berperan menyebarluaskan kata “Indonesia” sebagai kata ganti Hindia Belanda atau Netherland Indies untuk wilayah dari Sumatera sampai Papua. Suara Muhammadiyah menjadi media politik yang mencerdaskan dan menumbuhkan kesadaran berbangsa Indonesia.
Dikenal Karena Tulisan
Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam mengkader para politisi muda, Sukarno, Semaun dan kawan-kawan melalui aktivitas menulis. Media Utusan Hindia menjadi corong Sarekat Islam yang berpusat di Surabaya menyebarkan gagasan serta mengader sukarelawan.
Khalayak menjadi kenal Pak Tjokro, Soekarno, dan tokoh-tokoh Sarekat Islam lainnya melalui tulisan mereka di media massa. Bahkan Semaoen, kader Sarekat Islam yang kemudian menjadi kader ISDV mampu mengarang novel “Hikajat Kadiroen”, untuk menyebarkan gagasan sosialismenya.
Tidak ketinggalan mahasiswa-mahasiswa yang menuntut ilmu di jantung kolonialisme negeri Belanda menjadikan produk jurnalistik sebagai media politik. Mohammad Hatta dan kawan-kawan berhimpun dalam Perhimpunan Indonesia menerbitkan media “Indonesie Vrij” (Indonesia Merdeka) yang peredaran awalnya untuk Belanda, dalam perkembangannya banyak diminati juga di Indonesia.
Menulis dan menyebarkan gagasan melalui tulisan berlanjut ketika para aktivis PI Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, Ali Sastroamijoyo dan kawan-kawan kembali ke Indonesia. Soekarno dan kawan-kawan yang tidak belajar di negeri Belanda bisa bertemu gagasan Indonesia Merdeka dengan Mohammad Hatta dan kawan-kawan melalui tulisan-tulisan mereka.
Nama-nama beken lainnya, termasuk di kalangan wanita yaitu Rohana Kudus dan S.K Trimurti dikenal sebagai jurnalis handal yang mewarnai politik menuju cita-cita Indonesia merdeka. Abdul Rahman (AR) Baswedan konsisten di jalan jurnalistik dan diplomasi.
Mohammad Natsir penulis pidato-pidato Soekarno di awal kemerdekaan juga ditempa dalam aktivitas jurnalistik di ormas Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung. KH Mas Mansur dan Kasman Singodimejo sebagai kader-kader Muhammadiyah yang aktif di dunia politik dan aktif dalam kegiatan jurnalistik.
Politisi Kolonial Vs Politisi Milenial
Dibandingkan dengan kondisi sekarang, politisi generasi awal Indonesia dikenal masyarakat karena menulis, sedangkan politisi generasi sekarang lebih banyak dan lebih suka ditulis. Sangat jarang gagasan politisi bahkan pejabat publik masa kini ditemui di media massa berupa tulisan terkait perannya sebagai menteri atau anggota legislatif.
Yang sering muncul di media saat ini justru berita simpang siur hasil olahan dan tulisan wartawan tentang pejabat publik satu dengan lainnya. Tanpa sadar kondisi demikian memunculkan antipati masyarakat dan ketidakpercayaa masyarakat sehubungan dengan kebijakan dan kinerja lembaga tertentu.
Hadirnya media televisi dan kini media sosial semakin memudahkan para politisi dan peminat politik mengunggah rekaman pidato atau sekedar menyebarkan foto. Hadirnya para politisi dan peminat politik sekedar melalui gambar, foto diri atau tulisan-tulisan wartawan tanpa disadari melahirkan budaya politik identitas, bukan kualitas.
Masyarakat lebih mengenal calon dan kader-kader dari partai A ganteng, cantik, dari partai B mayoritas religius terlihat dari nama dan penampilan. Partai C berisi orang-orang peduli wong cilik, rakyat jelata terlihat dari jargon tokoh serta kader-kadernya yang sederhana misalnya. Partai D sebagai representasi tokoh besar masa lalu terlihat dari baliho-baliho yang terpasang di sudut-sudut jalan protokol.
Pelaku Aktif Komunikasi Publik
Sekolah Menulis PWMU.CO yang tahun ini memperingati milad ke-6, selain tempat pendidikan menulis, juga sebagai tempat pendidikan politik. Jika politik dikembalikan pada maksud dan tujuannya mengajak masyarakat, menyadarkan masyarakat untuk berpartisipasi, menginspirasi ikut serta dalam memperbaiki kondisi bangsa, maka PWMU.CO ikut memainkan peran tersebut.
Para kontributor dari beragam kalangan, meskipun mayoritas berprofesi guru atau pendidik adalah para pelaku komunikasi publik yang aktif. Para tokoh dan peminat politik yang baik harus dapat melakukan komunikasi publik dengan baik, bukan hoax. Sejauh ini para kontributor yang lulus sensor editor bisa dinilai berhasil melakukan komunikasi publik yang baik dengan tulisannya.
Dalam rangka milad PWMU.CO yang ke-6, banyak politisi menyampaikan ucapan selamat. Selanjutnya para pembaca, kontributor dan keluarga besar PWMU.CO ingin bisa membaca banyak gagasan melalui tulisan para tokoh dan peminat politik untuk bisa bersama-sama membangun politik kualitas, bukan identitas.
Rumah Besar Muhammadiyah
Politik identitas, apalagi politik yang mengandalkan “isi tas” istilah yang muncul dari almarhum Bapak Najib Hamid sulit untuk bisa diterima oleh warga Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah sebagai rumah besar bangsa tidak mungkin berpihak atau berusaha mengarahkan warganya pada partai politik tertentu. Karakter warga berkemajuan tidak mudah dicocok hidungnya atau diajak memilih kucing dalam karung tanpa diberi pemahaman perihal visi,misi dan agenda politik tertentu.
Sia-sia saja misalnya jika ada partai tertentu mengklaim sebagai partai Muhammadiyah, paling mengerti dan peduli Muhammadiyah. Rumah besar Muhammadiyah ibarat rumah pusaka, tempat berkumpul kerabat dan handai taulan, bersilaturahmi, mendamaikan yang bertengkar, bertukar pikiran mencari gagasan terbaik, bukan siapa terbaik.
Kader dan warga Muhammadiyah diperebutkan beragam partai politik sebagai keniscayaan. Tugas orang tua kepala keluarga rumah besar membekali penghuninya keluar rumah berkarir di segala bidang, bermanfaat bagi umat, negara, bangsa, bisa kembali ke rumah besar, keluarga besar dalam keadaan sehat, juga selamat. (*)
Sekolah Menulis PWMU.CO dan Pendidikan Politik, Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.