Langgar Wetan Pasar, Ada Jejak KH Ahmad Dahlan di Sini oleh Faruq Ahmad Futaqi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Rabu Wage, tanggal 22 bulan 2 tahun 1922 merupakan hari bersejarah bagi Muhammadiyah Ponorogo. Resmi berdiri sebagai Group Bestuur (Ranting) Muhammadiyah Ponorogo.
Tempat di Langgar Wetan Pasar. Dalam kalender Hijriah bertepatan tanggal 25 Jumadil Tsani 1340 H.
Saat ini tepat berumur 100 tahun Masehi atau 102 tahun dalam Hijriah. Rentang yang cukup panjang untuk perjalanan sebuah organisasi.
Berdirinya Muhammadiyah di Ponorogo berawal dari tujuh orang pengurus dan 22 anggota. Lalu berkembang ngremboko di berbagai kecamatan dan desa. Kini menjadi ormas besar yang berpengaruh di bumi reog. Memiliki berbagai amal usaha seperti minimarket dan Universitas Muhammadiyah.
Buku Selintas Perkembangan Muhammadiyah Ponorogo yang diterbitkan oleh PDM Ponorogo cetakan pertama bulan Dzulhijjah tahun 1411 H atau Juni 1991 M mencatat sejarah dakwah cukup lengkap.
Buku ini hasil karya Tim Penelitian dan Penulisan Sejarah Muhammadiyah Ponorogo (TP2SM) yang dibentuk PDM Ponorogo saat itu. Bernomor SK A-1/018/SK/II/88 tahun 1988 yang beranggotakan sejumlah tujuh orang.
Muhammadiyah masuk ke Ponorogo berawal dari seorang bernama Turki. Pedagang sekaligus mubaligh dari Yogyakarta yang berjualan di Pasar Legi Ponorogo.
Turki lalu lalang Yogya-Ponorogo untuk berbisnis. Setiap ke Ponorogo Turki selalu shalat di Langgar Wetan Pasar. Langgar ini milik keluarga Kasan Muhammad dan Ibu Somo.
Sekarang bernama Langgar Nyai Dahlan. Dikelola Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Nologaten. Jalan Pasar Legi ke timur pun diberi nama Jalan KH Ahmad Dahlan.
Pedagang Turki mampir ke langgar ini tak hanya shalat tapi juga berdakwah. Mengabarkan informasi tentang Persyarikatan Muhammadiyah. Orang yang berinteraksi dengannya adalah Kasan Muhammad, pemuda Karso dan pemuda Ali Diwiryo.
Karso adalah menantu Kasan Muhammad. Ali Diwiryo anak dari Ibu Somo. Mereka terkesan dengan cerita Turki tentang materi dakwah dan kisah Kiai Dahlan. Interaksi tersebut sampai pada keinginan mendirikan Muhammadiyah di Ponorogo.
Bertemu Kiai Dahlan
Keinginan ini diteruskan Turki kepada KH Ahmad Dahlan saat pulang ke Yogya. Pada sebuah kesempatan akhirnya Kyai Dahlan sampai juga di Ponorogo.
Atas undangan Sarekat Islam, KH Ahmad Dahlan yang juga penasihat partai ini diundang pengajian di Kauman.
Sore itu sepur sudah sampai di Stasiun Ponorogo menurunkan KH Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan meminta ditunjukkan masjid untuk menunaikan shalat. Oleh panitia diajak shalat di Langgar Wetan Pasar.
Setelah mengikuti pengajian malam hari di Kauman, Kasan Muhammad bertemu dengan KH Ahmad Dahlan. Berdiskusi menyampaikan kondisi masyarakat Ponorogo dan keinginannya mendirikan Muhammadiyah.
Pertemuan ditindaklanjuti. Karso Diwiryo menjadi utusan ke Yogyakarta untuk sowan kepada Kiai Dahlan. Karso diterima dengan akrab. Ditunjukkan dengan makan kembul bujono. Makan sepiring berdua tanda persaudaraan.
Dalam silaturahim tersebut Kiai Dahlan memberikan pengarahan dan syarat pendirian Muhammadiyah Ponorogo. Di antaranya, tujuh orang pengurus dan minimal 20 anggota.
Sepulang dari Yogyakarta, Karso Diwiryo mengumpulkan orang-orang yang bersedia jadi pengurus dan anggota. Setelah mendekati beberapa orang akhirnya terkumpul tujuh pengurus dan 22 anggota
Nama-nama itu lantas dikirimkan ke Hoofd Bestuur Muhammadiyah di Yogya untuk pengesahan. Tak berapa lama terkirim surat balasan berisi pengesahan berdirinya Group Bestuur (Ranting Muhammadiyah) Ponorogo Nomor 22 tanggal 22 bulan 2 tahun 1922. Sebuah nomor angka yang cantik.
Dakwah Berkembang
Empat tahun setelahnya. Ranting Muhammadiyah Ponorogo berubah menjadi Pengurus Cabang Muhammadiyah Ponorogo. Perubahan ini termuat dalam Almanak Muhammadiyah tahun 1346 H/Tahun 1927 Masehi halaman 155 yang memuat Pengurus Muhammadiyah Ponorogo dan Pengurus Aisyiyah Ponorogo. Sampai dengan 1930 Muhammadiyah Ponorogo dipimpin oleh Ali Diwiryo.
Tahun 1930 – 1936 Muhammadiyah Ponorogo dipimpin oleh Ridwan Hadjir. Murid KH Ahmad Dahlan di Hizbul Arqo berasal Jetis Ponorogo. Pada periode kepemimpinannya secara resmi berdiri Ranting Muhammadiyah Jetis tahun 1930 dan Ranting Muhammadiyah Ngunut 1933.
Selanjutnya disusul Ranting Ronowijayan, Ranting Plalangan (1939) dan ranting-ranting lain yang berdekatan.
Setelah tahun 1936 Muhammadiyah dipimpin kembali oleh Ali Diwiryo. Pada tahun 1938 dibangunlah Masjid Darul Hikmah (Masjid Duwur) di atas tanah wakaf RM Mintardjo seorang pejabat pemerintahan. Masjid ini menjadi sentral dakwah Muhammadiyah.
Pemberontakan PKI
Tahun 1948 merupakan tahun duka bagi Muhammadiyah. Tokoh-tokoh dan simpatisan dibunuh oleh PKI. Seperti guru Muhammadiyah Sediyo Wiyadi, Mardioetomo, guru HIS Muhammadiyah, Muh. Bisri Pemuda Muhammadiyah, Rahmat seorang hartawan dari Jetis.
Ranting Muhammadiyah Sumoroto semua pimpinannya dihabisi oleh PKI kecuali Pemuda Soeparno. Masjid Duwur (Darul Hikmah) dirampas oleh PKI. Sekolahnya ditutup dan semua dokumen dibakar habis. Termasuk buku sejarah Muhammadiyah Ponorogo yang ditulis oleh Sediyo Wiyadi.
Lantai atas dipakai untuk menahan lawan-lawan politik termasuk KH Zarkasyi bersama santri-santri Gontor. Lantai bawah digunakan pos komando PKI. Sampai akhirnya atas izin Allah taala mereka diusir dan dihancurkan oleh tentara Siliwangi.
Setelah peristiwa PKI 1948, Muhammadiyah Ponorogo tetap berdiri dan eksis melanjutkan perjuangan dakwahnya. Pada tahun 1967 Muhammadiyah Ponorogo resmi menjadi Pimpinan Daerah Muhammadiyah dengan SK PP Nomor : 087/PD/68-71.
Peristiwa penting setelahnya adalah Tanwir Muhammadiyah yang dilakukan 26 Oktober 1969 yang menghasilkan rumusan matan (teks) ”Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.”
Langgar Wetan Pasar atau Langgar Nyai Dahlan menjadi saksi sejarah. Luasnya hanya 10 x 4 meter. Ubin masih model lama. Temboknya tebal sak sen dua bata khas bangunan tempo dulu.
Kemarin saya berkunjung ke langgar ini. Lalu shalat sunah dua rakaat. Setelahnya saya mencoba membayangkan 100 tahun yang lalu. Saat Kiai Dahlan shalat di sini dan para pendiri Muhammadiyah Ponorogo berdiskusi di langgar ini.
Langgar ini tidak semegah Masjid Duwur. Namun di sini cikal bakal lahirnya Muhammadiyah Ponorogo yang besar saat ini. Selamat Satu Abad Muhammadiyah Ponorogo. (*)
Editor Sugeng Purwanto