Jadi Anak Shaliah
Master Trainer Parenting Nasional ini menyampaikan anak yang berada di pesantren InsyaAllah akan menjadi anak yang shalih shalihah. Tentu yang akan membuat bahagia diujung usia. Sebaliknya jika anak pendidikan agamanya lemah, shalatnya kurang, birrul walidain kurang, rebutan harta, tentu akan membuat menangis diujung usia.
“Kita harus tegar, berpisah tidak apalah, jangan dijenguk terus, kenapa masalahnya karena mengganggu ustadz dan ustadzah karena tidak nyaman menolak Bapak dan ibu, dan anaknya juga tidak fokus belajar di pesantren,” imbuhnya.
Dia bercerita suatu saat di bulan November kangen anaknya karena sejak Mei tidak boleh bertemu di pesantren, dia minta izin pada Ustadz. “Bolehkah saya kunjungi sebentar saja,” ceritanya.
“Ustadz mau ngomong tidak boleh ya sungkan mungkin karena sudah kenal saya,” jelasnya.
“Monggo ustadz Jinan kopinya sudah saya siapkan, sudah sampai mana ustadz!” tanya musyrif anak saya.
Padahal saya sudah berada di pintu gerbang ternyata anak-anak lain bertemu anaknya cuma bisa melambangkan tangan karena larangan penjengukan di masa pandemi.
“Akhirnya saya balik pulang ke Sidoarjo ndak jadi bertemu anak saya. Karena saya berfikir, gegara saya dekat dengan ustadz, maka diperbolehkan menjenguk. Saya tidak tega melihat wali santri lainnya yang tidak dapat bertemu dengan anaknya,” tandasnya.
kadang aturan di pesantren tidak selalu sama dengan rasa sayang kita. Pentingnya kita harus sinergi dengan aturan tersebut, rela menahan rasa kangen pada anak. Insyaallah kalau kita niatkan ibadah pahalanya akan kita dapat, dan sikap anak kita akan semakin baik karena sikap tega kita.
Kerjasama Orangtua
Dia memaparkan pentingnya kerjasama antara keluarga dan pesantren. Kerjasama apa yang kita bangun?
Pertama, niat. Memasukkan anak ke pesantren niatnya apa? Karena ada perbedaan prinsip, ada orang tua yang mengambil paksa anaknya karena alasan sepele, misalnya masalah makanan yang kurang cocok dengan anaknya. Atau kurang bersih lingkungannya.
“Akhirnya kita korbankan niat kita yang menginginkan pendidikan karakter dan agama jadi terbengkalai,” jelasnya.
Kedua, Bijak dalam berkunjung, “Seperti Al Fattah ini memberikan kesempatan menjenguk sebulan sekali, kita harus patuh. Kalau ada ijin keluar, kembalikan anak sebelum waktunya, jangan karena rengekan anak, orang tua harus beralasan dan berbohong kepada Ustadz dan Ustadzahnya. Jangan sampai anak melanggar peraturan pesantren kita dukung,” tuturnya.
Ketiga, bertanya dan memberi informasi. “Banyak diantara anak kita curhat sambil nangis yang disertai baper. Dengarkan tenang dulu jangan reaktif, tabayyun dulu, jangan sampai datang ke pesantren sambil marah-marah diluar batas laporan dan curhatan anak. Karena curhatan anak yang disertai baper,” tuturnya.
Dia mencontohkan kalimat yang sopan dalam bertabayyun, “Maaf ustadzah kemarin ada teman anak saya yang membuli anak saya, mohon bantuannya untuk menetralisir kejadian tersebut,” tandasnya.
Jangan sampai begini, lanjutnya, tolong sampaikan ke teman anak saya, kalau tidak berhenti membuli anak saya, saya akan turun tangan,” tandasnya.
“Itu termasuk sikap yang tidak baik. Hubungan ini harus kita jaga jangan sampai ada konflik yang membuat ilmu anak kita tidak barokah. Karena orangtuanya kurang respek dan saya takut barokahnya kurang, karena gurunya kurang meridhai,” ujarnya.
Keempat, bijak dalam memberikan fasilitas. Dia menjelaskan, jika mengirim berupa makanan atau kebutuhan lainnya, mohon jangan sampai kurang atau berlebihan.
“Saya sering ke pesantren itu lihat kamar mandi, kamarnya, jemuran, lemari anak. Saya pernah menemui ini. Tetapi bukan di Al Fattah, kalau Al Fattah bagus. Nak, banyak sekali makanan di lemarimu? Apa semuanya menghabiskan? Tidak pernah habis ustadz, saya pingin saja ustadz.”
Artinya orangtua menuruti seratus persen keinginan anak. Kurang dikit-dikit gapapa. Karena hidup itu kadang kurang kadang lebih.
Jangan sampai anak diberi pengalaman lebih, lebih, dan lebih, sementara, kata dia, kita jarang bahkan tidak pernah memberikan pengalaman kurang.
Kelima, membagi peran dan tanggung jawab penuh pada anak. Peran pada anak tapi tanggung jawab tetap pada orangtua.
“Saya sedih pada orangtua yang mengirimkan makanan pada anak yang diselipi handphone karena rengekan anak. Akhirnya orangtua rela melanggar peraturan demi anaknya,” ujarnya.
Baca sambungan di halaman 3: Peran Orangtua