Persaudaraan di Ujung Bulan Sabit

Dosen UMM
Pradana Boy ZTF

Persaudaraan di Ujung Bulan Sabit, Pradana Boy ZTF, Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

PWMU.CO – Hal yang cliché umumnya dibenci. Cliché (klise) adalah sebuah istilah yang sering digunakan untuk merujuk kepada hal-hal yang terlampau kerap digunakan. Kamus Oxford Language memberikan batasan tentang cliché sebagai a phrase or opinion that is overused and betrays a lack of original thought. Yakni frase atau opini yang terlalu banyak digunakan sehingga makna asalnya seperti hilang atau membias.

Jika kita berdiskusi tentang hal yang sama, terlampau sering dan berulang-ulang; pasti menimbulkan kebosanan. Ungkapan kebosanan yang sering muncul adalah: “Ah, ini klise.” Atau jika seseorang mengemukakan pandangan yang sudah bisa diduga, oleh karena pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya, akan lahir respons yang sama pula. Klise itu membosankan. Namun rupanya klise juga diam-diam disuka.

Perbedaan di kalangan umat Islam dalam mengawali puasa Ramadhan dengan segala konsekwensinya adalah contoh klise itu. Hal itu berulang secara rutin hampir tiap tahun, dan telah bisa diduga ujung dan pangkalnya, juga sebab musababnya. Sebagai kerutinan, seharusnya kita sudah biasa dengan perbedaan itu.

Setidaknya ada tiga versi awal Ramadhan di Indonesia pada tahun 1443 H atau 2022 M ini. Jamaah Tariqat Naqsabandiyah di Sumatera Barat telah memulai puasa pada 1 April 2022, Muhammadiyah memutuskan puasa Ramadhan dimulai pada 2 April 2022, sementara Pemerintah dan Nahdlatul Ulama’ menjadikan 3 April 2022 sebagai awal puasa.

Ini terulang sangat sering. Perbedaan penentuan awal Ramadhan ini adalah produk ijtihad yang seharusnya dibaca sebagai rahmat. Syaikh Abdullah Muhammad ibn Abd al-Rahman menyebut bahwa dalam perbedaan pemikiran para imam, terdapat rahmat bagi umat: rahmat al-ummah fi ikhtilafi al-aimmah.

Respon Klise

Sayangnya, respons yang muncul adalah juga klise. Tak hanya masyarakat umum, bahkan kalangan terpelajar dan sebagian pemimpin agama juga menunjukkan respon yang tidak positif. Sekali lagi, ini klise. Menyaksikan aneka respon inilah yang lalu mendorong saya untuk mengatakan bahwa klise itu juga disukai. Perbedaan disikapi dengan sikap tertutup. Bahkan hingga ada klaim keselamatan. Jika keselamatan hanya berlaku bagi satu tafsir, itu bermakna tafsir lain dengan sendirinya sesat. Padahal ini adalah perbedaan yang berada pada tingkat fikih saja.

Di luar persoalan fiqhiyyah, semua perbedaan di atas tetap merupakan eskpresi dari sumber syariah yang sama, yakni perintah menjalankan ibadah puasa, yang bersumber dari al-Qur’an. Menjalankan ibadah puasa adalah syariat yang bersifat tinggal dan mutlak, maka umat Islam pasti tidak akan berselisih tentangnya.

Namun, teknis pelaksanaan puasa merupakan wilayah turunan dari syariat yang memang tidak mungkin disamakan secara mutlak. Inilah fikih. Seharusnya aspek pelaksanaan syari’ah inilah yang ditekankan dan dibesar-besarkan. Bukan aspek fikih yang memang sejak awal sudah berbeda dan akan selalu berbeda sampai kapanpun. Beda dalam fikih, namun satu dalam syariah.

Berharap semua manusia akan berada dalam kesamaan yang tunggal, adalah sebuah kemustahilan. Jangankan hanya perbedaan fiqhiyyah seperti penentuan awal Ramadhan, sementara perbedaan dalam keimanan pun merupakan bagian dari skenario kehidupan dunia yang dicanangkan oleh Allah. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di bumi semuanya. Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman?“ Demikian penegasan Allah dalam Surah Yunus ayat 99.

Bacs=a sambungan di halaman: Cara Positif Memaknai Perbedaan

Pradana Boy ZTF: Persaudaraan di Ujung Bulan Sabit

Cara Positif Memaknai Perbedaan

Karena sikap negatif pada perbedaan itu klise dan membosankan, maka perlu ditawarkan cara positif untuk memaknainya. Misalnya, bahwa perbedaan layaknya disikapi sebagai prasyarat bagi penguatan persaudaraan (ukhuwah). Jika ukhuwah menguat atau dikuatkan pada kelompok yang telah sama, itu sama sekali tiada istimewa. Keistimewaan akan terlihat jika ukhuwah menguat di kalangan mereka yang berbeda.

Dalam menjalankan ukhuwah, tentu ada sejumlah prinsip yang perlu dijalankan. Prof Quraish Shihab menyebut tiga konsep dasar dalam pemantapan ukhuwah, yakni kesadaran tentang at-tanawwu’ fi al-ibadah (keragaman cara beribadah), al-mukhti’u fi al-ijtihad lahu ajrun (yang berijtihad tetapi salah, tetap mendapatkan ganjaran), la hukma lillah qabla ijtihadi al-mujtahid (Allah belum menetapkan status hukum sebuah perbuatan sebelum adanya ijtihad para mujtahid). Rasanya teramat gamblang, tiga aspek itu dapat ditemukan dalam kontroversi awal Ramadhan ini.

Dalam situasi kehidupan global yang semakin kompleks seperti saat ini, memperkuat persaudaraan sesama Muslim, dengan menonjolkan persamaan, jauh lebih penting daripada sekadar terus-menerus beradu argumen yang disertai dengan pemojokan, pelabelan negatif dan, apalagi, klaim keselamatan. Apatah lagi menyangkut penentuan awal Ramadhan yang telah dan akan terulang secara rutin dalam siklus tahunan.

Secara simbolik, pangkal perbedaan awal Ramadhan adalah pada bulan sabit (hilal). Bagi yang berkeyakinan bahwa tanpa melihat bulan sabit secara kasat mata, namun perhitungan ilmiah telah menunjukkannya, dan dengan begitu puasa bisa dimulai; maka jalankanlah keyakinan itu.

Namun bagi yang berkeyakinan bahwa memulai bulan Ramadhan tidak mungkin tanpa melihat bulan sabit secara inderawi, dengan kriteria tertentu, lakukanlah juga keyakinan itu. Tentu, saling menghormati dan bersikap positif atas perbedaan prinsip itu menjadi elemen paling mendasar. Karena tanpa itu, perbedaan akan menjadi alasan pengoyak ukhuwah. Alangkah menyedihkan jika persaudaraan sesama Muslim terkoyak di ujung bulan sabit. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

.

Exit mobile version