Kisah Pengamen dan Penjahit Sepatu

kisah pengamen
Pradana Boy

Kisah Pengamen dan Penjahit Sepatu oleh Pradana Boy ZTF, Ketua Lembaga, Pengembangan Pesantren Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

PWMU.CO– Siang itu hujan gerimis mewarnai Yogyakarta. Saya bersama sahabat dan keluarga tengah berada di Malioboro. Di tengah rintik hujan, kami berlari kecil menuju tempat berteduh. Sebuah pohon rindang menjadi tujuan.

Rupanya telah banyak orang berada di bawahnya. Sehingga tidak ada tempat berteduh untuk semua orang. Tiba-tiba seorang perempuan separo baya memanggil saya, menyilakan saya duduk di sebelahnya, karena saya membawa anak kecil.

Perempuan ini ramah. Setelah saya mendudukkan anak di sebelahnya, perempuan itu mengajak saya berbicara tentang berbagai hal. Hingga akhirnya ia bertanya tentang asal dan pekerjaan. Saya menjawab seadanya. Namun belum sempat saya melontarkan pertanyaan balasan, dia tiba-tiba berkata: ”Hujan-hujan begini sepi, Mas.”

Saya tahu persis, dia sedang berbicara tentang pendapatan. Maka kini saya bertanya, ”Ibu kerja apa?”

Ngider saja, Mas.” Terus terang saya tidak paham apa yang dia maksudkan dengan ngider itu. Karena banyak sekali pekerjaan yang melibatkan aktivitas ngider.

Setelah beberapa saat berbincang, akhirnya saya paham yang ia maksud dengan ngider adalah ngamen dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat ke tempat lain. Iseng-iseng saya bertanya berapa pendapatan hariannya dari ngamen itu.

”Kalau hujan dan sepi seperti ini ya sekitar Rp 400 ribu. Kalau lagi ramai orang liburan ya bisa lebih banyak lagi,” ujarnya.

Saya terkesiap. Ternyata begitu besar pendapatan orang ngamen di kota besar seperti Yogyakarta. Maka pikiran sederhana saya menyimpulkan, pantaslah banyak orang memilih jadi pengamen daripada bekerja sungguhan.

Penjahit Sepatu

Lain cerita di atas, sebuah perbincangan ringan terjadi secara mengalir antara istri, saya, dan seorang tukang jahit sepatu. Di sebuah sore yang cerah, seorang penjahit sepatu melintas di depan rumah.

Suaranya yang melengking, memancing kami keluar rumah dan memakai jasanya. Dua pasang sandal dan dua pasang sepatu kami sodorkan untuk dijahit.

Sembari menyelesaikan pekerjaannya, pria kurus itu bercerita dulunya dia seorang pengamen yang ngider dari desa ke desa untuk mencari penghasilan.

”Tapi saya sekarang sudah berhenti ngamen, Pak,” begitu dia bercerita. Dia mengakui uang yang didapat dari hasil ngamen sangat banyak. Namun banyaknya uang itu tidak menjadikan hatinya tentram. Ia pada akhirnya memutuskan untuk berhenti ngamen, lalu beralih menjadi tukang jahit sepatu yang juga melayani perbaikan payung rusak.

Hasil harian terbesar yang pernah ia dapatkan Rp 100 ribu. Artinya, dalam situasi tertentu, ia bisa saja membawa uang kurang dari seratus ribu atau bahkan tidak membawa sama sekali. Padahal untuk menuju Kota Malang dari tempat tinggalnya di wilayah Malang Selatan memerlukan uang untuk naik kendaraan umum.

Saya tertarik untuk menelisik. ”Mengapa Bapak berhenti ngamen, padahal uang yang didapat dari ngamen lebih besar dari menjahit sepatu?”

Jawaban yang saya dapatkan sungguh mengejutkan. ”Harga diri lebih penting daripada uang, Pak,” begitu prinsip hidup yang ia bagikan kepada saya.

Bagi dia, lebih baik mendapatkan uang seadanya daripada mendapatkan banyak uang tetapi dengan cara meminta-minta. Ia menyamakan ngamen dengan meminta-minta.

Di dalam tasnya yang lusuh, saya melihat penjahit ini membawa sarung. Saya tanya, ”Kok bawa sarung juga, Pak?”

Ia menjawab di manapun dia berada, jika sudah waktu shalat tiba, ia akan mencari masjid dan melaksanakan shalat. Ia mengakui, selain sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi sumber rezeki.

Karena tak jarang, usai menjalankan shalat di masjid, ada saja orang yang menggunakan jasa jahitnya. Tak jarang pula ada yang memberinya bekal makanan atau minuman.

Penjahit sepatu itu, ternyata tidak hanya rajin menjalankan ibadah fardhu. Ibadah lain yang lazimnya disebut ibadah ghairu mahdlah atau ibadah umum juga ia jalankan. Ketika ia menyebut,”Harga diri lebih penting dari uang” sesungguhnya tanpa ia sadari, ia telah menjalankan ajaran Rasulullah.

Menjaga harga diri adalah bagian dari prinsip yang diajarkan Rasulullah. Pada zaman Nabi Muhammad, suatu ketika seorang sahabat datang meminta sesuatu kepada Rasulullah. Nabi tidak memberinya apapun, namun mengajaknya berdialog: ”Apa yang kamu punya di rumah?”

Atas pertanyaan Nabi Muhammad itu, sahabat itu menjawab: ”Saya masih mempunyai beberapa perabot dan peralatan rumah.”

Mendapati jawaban itu, Rasulullah memintanya menjual barang-barang yang ia punya itu dan kembali kepada Rasulullah setelah menjualnya. Lalu Rasul berkata: ”Bagilah hasil penjualanmu itu menjadi dua: separo untuk makan keluargamu, dan separo untuk modal usaha. Jangan kembali kepadaku kecuali setelah 15 hari.” 

Dalam sebuah hadits lainnya disebutkan seorang lelaki datang kepada Rasulullah saat beliau sedang berdiri di Arafah. Orang tersebut meminta selendang Nabi dan beliau pun memberikannya.

Kemudian orang itu pergi. Sepeninggal pria itu, Rasulullah bersabda: Tidak halal meminta-minta kecuali bagi orang fakir yang sangat sengsara atau orang yang punya tunggakan utang dan sangat kesulitan membayarnya. Barangsiapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk menumpuk harta maka pada hari kiamat akan ada cakaran di wajahnya dan akan memakan batu panas dari neraka jahanam. Jika ia meminta-minta hanya sedikit, maka sedikit pula azab yang ia terima, jika ia meminta-minta banyak maka banyak pula azab yang ia terima.”

Sebagian ulama menilai derajat hadits ini lemah. Akan tetapi, prinsip yang menyatakan bahwa sebuah hadits lemah bisa digunakan untuk menguatkan fadhail al-a’mal atau keutamaan perbuatan.

Memotivasi orang untuk mandiri dan menghindari perbuatan tak baik adalah bagian dari fadhail al-a’mal itu.

Kembali kepada kisah pengamen dan penjahit sepatu di atas, penjahit sepatu yang mantan pengamen itu telah menjalankan hadits Rasul untuk tidak menjadi peminta-minta.

Sementara perempuan paro baya dalam cerita di atas, sesungguhnya juga menyadari apa yang ia lakukan sebenarnya merendahkan harga dirinya. Namun karena ia memiliki etos yang lemah, sehingga baginya uang lebih berharga daripada harga diri. Wallahu a’lam bi al-shawwab.(*)

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version