Muktamar Muhammadiyah: Orkestra Agung para Pemimpin

Suasana pembukaan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah di Stadion Manahan Solo, Sabtu 19/11/2022 (Mohammad Nurfatoni/PWMU.CO)

Muktamar Muhammadiyah: Orkestra Agung para Pemimpin, oleh Pradana Boy ZTF Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang; Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

PWMU.CO – Muktamar Ke-48 Muhammadiyah telah usai, pemimpin baru Muhammadiyah telah terpilih. Namun, gema Muktamar tetap menggaung oleh aneka kesan dan catatan. Saya menghadiri Muktamar sebagai penggembira. Menyaksikan secara langsung dan merasakan secara nyata Muktamar telah membawa saya kepada sebuah kesimpulan bahwa Muktamar Muhammadiyah adalah orkestra agung para pemimpin.

Muktamar adalah sebuah orkestra, dalam arti harfiah. Karena di dalamnya ada unsur pertunjukan. Namun dalam makna kiasannya, Muktamar sebagai orkestra memiliki konotasi yang lebih luas.

Keluar dari Malang pada Jumat malam, sejak memasuki jalan tol, keriuhan Muktamar telah terasa. Aneka kendaraan yang membawa pengembira Muktamar dengan mudah bisa ditengarai. Spanduk-spanduk dengan atribut Muktamar adalah penanda yang terlampau jelas.

Mendekati Solo, di salah satu rest area, warga Muhammadiyah dari berbagai penjuru tumpah ruah, berjubel untuk menunaikan aneka kebutuhan. Terlebih ketika memasuki kota Solo, suasana Muktamar semakin terasa. Solo menghijau oleh ribuan bendera Muhammadiyah.

Memasuki kota Solo di pagi hari menjelang pembukaan Muktamar, kemacetan segera terasa. Kemacetan identik dengan kebosanan. Tetapi tidak untuk kali ini. Saya menikmati suasana itu. Di sela kemacetan aneka bentuk dan ukuran kendaraan itu, ribuan orang terlihat berjalan kaki dalam wajah gembira dan tanpa beban.

Mereka menuju satu titik: Stadion Manahan. Karena membawa anak-anak yang masih kecil, saya tak masuk ke stadion. Saya memilih duduk di sisi luar stadion duduk di bawah pohon dengan mengamati lalu lalangnya peserta dan penggembira.

Perhelatan pembukaan Muktamar yang mulus itu adalah orkestra kepemimpinan pertama yang saya saksikan di Muktamar. Keberhasilan itu bukan karena peran tunggal satu dua orang. Tak ada orang yang tak berperan. Tak ada figur tunggal.

Kelancaran acara Muktamar adalah ibarat hasil dari sebuah pertunjukan musik. Semua memainkan alat musiknya masing-masing, tapi tak akan bergerak tanpa aba-aba dari dirijen. Kita mungkin tak tahu, dan tak mencoba mencari tahu siapa dirijen Muktamar ke-48 di Solo yang telah menghasilkan suara musik yang racak itu. Namun, siapapun dia, dirijen orkestra ini pastilah bukan figur tunggal.

Mari kita coba sekadar menyebut nama. Dari yang kelihatan saja, pastilah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Pak Tafsir; Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof Sofyan Anif, para tokoh senior Muhammadiyah di Solo, seperti Pak Marpuji Ali, Pak Dahlan Rais, ada dalam barisan dirijen itu. Mengamati orkestra itu, saya merenung, barangkali inilah wujud dari teori kepempimpinan transformatif. Tak ada teori tunggal dalam kepemimpinan, di antara yang banyak itu adalah yang disebut transformational theory of leadership.

Hal yang menonjol dari teori ini adalah semangat (enthusiasm) dan cinta pada pekerjaan (passion) yang ditunjukkan oleh para pemimpin. Kedua hal itu lalu menghadirkan model bagi anggota tim, memberikan penekanan pada kerja kolaboratif antaranggota tim; dan pendelegasian pekerjaan yang efisien kepada orang, sesuai dengan keahliannya. Sebagai penggembira yang tinggal menikmati kemeriahan dan keelokan orkestra Muktamar, kita tak mungkin bisa mengitung detail pekerjaan yang dijalankan oleh penyelenggara.

Tetapi, rasanya Anda tak akan mungkin berselisih paham dengan saya, bahwa detail-detail perkerjaan itu pastilah memiliki pemimpinnya masing-masing. Sekadar contoh, kawan saya, Herman Dodi; adalah seorang yang sangat ahli dalam meramu aneka hal berkaitan dengan protokoler. Dari unggahan-unggahannya di media sosial, saya tahu bagaimana ia bekerja maksimal dalam bidang pendelegasiannya. Saya yakin Mas Dodi memainkan peran kepemipinan di situ, bahkan jauh hari sebelum Muktamar digelar.

Usai pembukaan, saya menyertai keluarga dan menemui kawan-kawan dari kampung halaman yang berkumpul di Masjid Ageng Keraton Surakarta. Di pelataran parkir Keraton Surakarta berjejer ragam kendaraan beraneka ukuran. Memasuki pelataran masjid, pemandangan kompleks terlihat.

Di bawah sebuah pohon rindang, saya melihat beberapa aktivis Muhammadiyah, entah dari Ranting atau Cabang mana, sedang membagikan makanan. Sebelum makanan dibagikan, terlihat ada beberapa orang yang menuliskan sesuatu di atas kardus makanan. Saya tak tahu persis apa yang mereka tuliskan, tetapi itu pastilah bagimana dari mekanisme pengaturan massa.

Di situ ada skill kepemimpinan. Di dalam masjid, jumlah orang semakin banyak. Aneka pemandangan kembali saya jumpai. Salah satunya, adanya orang-orang yang mengarahkan massa untuk melakukan sesuatu. Misalnya memberi aba-aba untuk mengambil air wudhu, menempatkan alas kaki dengan rapi agar tak hilang, hingga menata shaf untuk shalat berjamaah.

Bus-bus yang berjajar, ribuan manusia yang berhimpun, orang-orang yang memberikan perintah atau arahan dan orang-orang yang mematuhinya itu, membawa saya kepada refleksi tentang kepemimpinan mikro. Ribuan penggembira ini pastilah memiliki pemimpinnya masing-masing. Di ranting, cabang atau komunitas tertentu, pastilah ada ketua ranting yang memimpin perjalanan ini. Bayangkanlah apa yang dilakukan oleh para ketua ranting atau cabang itu hingga pada akhirnya rombongan mereka berhasil hadir di Solo. Jauh hari, pastilah mereka ini telah melakukan fungsi-fungsi kepemimpinan pada komunitasnya masing-masing.

Tak mungkin ada kendaraan sebanyak ini yang berhimpun di Solo, mustahil pula ribuan orang yang memenuhi Solo pada perhelatan Muktamar ke-48 itu, jika tak ada peran tangan-tangan dingin para pemimpin pada level mikro itu. Maka, panggung orkestra Muktamar tidak hanya bisa kita lihat di Stadion Manahan, Edutorium UMS, atau Muktamar Fair di Colomadu, tetapi orkestra apik itu terlihat juga dari kelihaian pemimpin-pemimpin mikro itu mengelola massa mereka masing-masing.

Suatu saat, dalam sebuah perjalanan, saya menemukan sebuah buku berjudul Leaders Eat Last, yang secara harfiah berarti pemimpin makan paling akhir. Judul itu menggelitik. Membaca judulnya saja, saya lalu mengembangkan pemahaman sendiri. Secara harfiah, saya memahami bahwa para pemimpin harus berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan yang dipimpin, bukan dirinya sendiri.

Mereka harus memastikan anak buahnya makan terlebih dahulu sebelum dirinya makan. Di Muktamar inilah, saya menyaksikan bagaimana pimpinan-pimpinan rombongan dalam ratusan bis yang mengangkut penggembira itu, tidak akan naik bis, sebelum dia memastikan anggota rombongan telah lengkap.

Setelah membaca, buku itu, penjelasannya ternyata jauh lebih luas dari pemahaman harfiah saya pada judul tadi. Simon Sinek, penulis buku itu berbagi pandangan bahwa seorang pemimpin harus memiliki empati pada yang dipimpin, memahami kebutuhan dan siklus kebutuhan anggotanya, dan menjaga dan merawat anggota.

Di luar arena persidangan, kualitas-kualitas kepemimpinan itu dengan sangat gamblang saya saksikan. Inilah orkestra kepemipinan di luar panggung formal.

Saya sendiri, dalam Muktamar ini mengambil peran sebagai pemimpin keluarga. Dalam banyak Muktamar yang lain, saya biasanya nimbrung sebagai “pengamat.” Maknanya, saya mengikuti forum demi forum untuk mengamati dan lalu menuliskan amatan ilmiah dalam berbagai bentuk untuk kepentingan keilmuan. Namun, secara sadar kali ini saya memilih peran menjadi pemimpin keluarga dengan cara mendampingi istri dan anak-anak selama perjalanan di Solo.

Anak pertama dan ke dua mulai tumbuh remaja. Mereka seringkali menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga berkaitan dengan Islam, Muhammadiyah, masyarakat dan bahkan politik. Di rumah, diskusi tentang Muhammadiyah sudah sering terjadi di antara kami. Maka, Muktamar adalah waktu yang tepat untuk mendidik mereka, menunjukkan kepada mereka secara langsung tentang apakah itu Muhammadiyah, dan lebih luas lagi, apa peran Muhammadiyah dalam dakwah Islam.

Sepanjang perjalanan pulang dari Muktamar, anak ke-dua saya tidak berhenti bertanya tentang hal-hal yang mungkin bagi dia masih terasa aneh. Tak hanya itu, dia bahkan bertanya apakah saya mengenal secara pribadi 13 tokoh yang terpilih sebagai pemimpin baru Muhammadiyah itu. Jawaban “ya”, ternyata malah mnejadikannya memaksa saya untuk bercerita tentang interaksi saya dengan sebagian tokoh Muhammadiyah itu. Saya menikmati peran sebagai pemimpin keluarga pada Muktamar kali ini.

Melihat orkestra kepemimpinan dalam aneka sisi Muktamar ini, izinkan saya dengan sedikit simplisitis menyimpulkan bahwa Muktamar Muhammadiyah ke-48 adalah salah satu wujud dari hadits Nabi kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an raiyyatih. Dengan begitu, tak perlu dikhawatirkan regenerasi kempemimpinan Muhammadiyah di semua sektor dan level.

Pemimpin Muhammadiyah itu tertempa dari bawah, dan tidak tiba-tiba hadir. Muktamar telah membuktikan diri sebagai orkestra para pemimpin Muhammadiyah di semua level. Orkestra ini telah berhasil memilih pemimpin kini dan menyiapkan pemimpin masa depan.

Malang, 22.11.22

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version