Kerukunan beragama itu darah daging bangsa
Saya tidak mengingkari adanya kasus yang mengganggu kerukunan itu di sana-sini, baik di Indonesia maupun di Amerka Serikat. Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa jangan kasus-kasus itu dianggap sebagai wakil dari negara dan bangsa secara keseluruhan. Sekuat apapun kecenderungan “intoleransi” pada kelompok tertentu dari sebuah bangsa hendaknya dilihat sebagai kasus dan bukan representasi bangsa itu sendiri.
Tendensi “jeneralisasi” ini yang terkadang menjadikan penilaian kita tidak adil, bahkan cenderung menzalimi pihak yang dianggap berseberangan. Betapa sering saya dengarkan jika Muslim Indonesia tidak lagi toleran karena ada sekolompok kecil dari kalangan umat ini yang menyuarakan resistensi terhadap pembangunan gereja di sebuah tempat tertentu.
(Baca juga: Apa yang Bisa Diharap dari Donald Trump yang Islamphobia?)
Sebaliknya juga sering saya dengarkan jika Amerika adalah bangsa yang anti-Islam, musuh Islam yang tidak memberikan hak-hak beragama bagi komunitas Muslim. Biasanya tuduhan ini juga karena kasus-kasus yang terjadi di beberapa tempat, khususnya setelah Donald Trump terpilih menjadi presidennya.
Kita, tentu, wajar khawatir. Wajar jika memiliki perhatian, karena memang komitmen kita bersama untuk menjaga kerukunan, kedamaian, dan kebersamaan antar manusia. Keinginan kita untuk tetap melihat kedua bangsa, dan dunia secara keseluruhan, untuk tetap rukun dan damai di tengah keragaman dan perbedaan yang ada.
Akan tetapi satu hal yang perlu diingat bahwa setebal apapun mendung di langit, percayalah jika cahaya mentari di ufuk sana tetap eksis. Sebuah peristiwa, seburuk apapun itu tidak seharusnya menghapus optimisme dan harapan itu. Atau mungkin dalam bahasa yang sering saya ungkapkan: “di penghujung terowongan panjang itu, ada sinar yang terang benderang”.
(Baca juga: Kegelisahan Akademisi Amerika pada Sikap Antipluralisme Capres Donald Trump)
Kerukunan sesunguhnya dalah darah daging kedua bangsa ini. Amerika dengan konstitusi yang solid, tegas menjamin hak-hak beragama setiap orang, tidak akan goyah dengan sikap dan prilaku sebagian masyarakatnya. Dan yang terpenting pula, di tengah tumbuhnya Islamophobia dan kemarahan sebagian kecil warga, masih terlalu dominan mereka yang justeru memberikan simpati dan membangun soliaritas kepada masyarakat Muslim.
Demikian pula bangsa Indonesia. Hal yang membanggakan adalah bahwa kerukunan antar-masyarakat di Indonesia sudah menjadi darah daging dan perjalanan sejarahnya. Jika ada kasus sebaliknya, maka itu bukan “tabiat” bangsa ini. Bahkan sekaligus itu adalah pencabulan kepada sejarah indah bangsa ini.
Oleh karenanya, terpilihnya Donald Trump di Amerika dan dengan tanda-tanda kebijakan pemerintahannya yang merugikan komunitas Muslim dan minoritas secara umum, harusnya tidak menghilangkan trust (keyakinan) terhadap Amerika sebagai negara dan bangsa yang toleran. Selama Konstitusi Amerika sama, yang akan terjadi hanya geliat dan hiruk pikuk politik. Tapi secara fundamental Amerika akan tetap Amerika yang kita kenal sangat toleran.
(Baca juga: Belajar dari Amerika: Sebagai Simbol Negara, Presiden Harus Dihormati)
Demikian pula dengan Indonesia. Kasus-kasus gesekan komunal (ketegangan antar-kelompok) di beberapa daerah itu hanya geliat dan hiruk pikuk kepentingan sesaat. Dan tendensi intoleran itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai wajah bangsa yang sesungguhnya. Melainkan sebuah deviasi dari wajahnya yang sejati.
Saya mengajak kita semua untuk membangun optimisme dan memperkuat harapan ini. Sebab dengan penglihatan optimis dan dengan dada yang penuh harapan kita bisa membangun pikiran dan sikap positif. Jika tidak, akan terjadi negativity, yang dalam yang mengantar kepada sikap dan perilaku yang destruktif.
Intinya adalah di tengah badai rintangan itu tersembunyi hatapan itu. Dan harapan itu selalu ada. Laa taqnatuu min rahmatillah! []
*) Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation dan Imam Besar Masjid New York. Opini ini ditulis dari udara dalam perjalanan menuju USA.