Pak Bill Tak Kalah Keras
Pak Bill tidak kalah keras pesannya dibanding Pak Amien. Tapi, Pak Bill lebih lembut dan tersembunyi. Agak ironis rasanya. Pak Bill yang orang Amerika malah sangat Jawa dalam memberikan kritik. Santun dan penuh dengan tembung sanepa. Tapi, message-nya tegas dan menohok. Sebuah kode keras.
Dalam artikelnya Sesepuh Bangsa (4/3/22) Pak Bill dengan terus terang menyebut peran Jokowi dalam kemunculan wacana kepresidenan tiga periode. Kiranya tidak tersangkal lagi, Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya.
Mengapa kesimpulan mengenai hal ini begitu pasti? Pak Bill kemudian mengajukan argumen dengan mengemukakan pernyataan tiga pemimpin parpol, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar, yang menghendaki penundaan pemilu. Peran Luhut Binsar Panjaitan oleh Pak Bill juga disebut sebagai faktor yang meyakinkannya bahwa Jokowi berada di belakang wacana ini.
Sama seperti Pak Amien, Pak Bill mengingatkan kita supaya belajar kepada sejarah Orde Baru. Pak Bill mengingatkan juga peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Bung Karno bersama Orde Lama. Pak Bill menyarankan Jokowi belajar dari kearifan B.J Habibie yang pada 1999 memutuskan untuk tidak memaksakan diri maju sebagai presiden, setelah pertanggungjawabannya ditolak dalam oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Habibie dianggap sebagai seorang demokrat sejati yang harus diteladani oleh Jokowi. Habibie belajar dari sejarah, belajar dari pengalaman buruk yang terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru. Model kepemimpinan yang top-down memaksakan kehendak dari atas ke bawah membawa konsekuensi kehancuran dua rezim itu.
Bung Karno memaksakan demokrasi terpimpin dengan sentral kekuasaan berada di tangannya. Dengan kekuasaan mutlak itu ia mengendalikan demokrasi dari atas ke bawah. Tidak ada inisiatif rakyat, tidak ada kebebasan berpendapat dari rakyat. Dengan kekuasaan yang berpusat di tangannya, Sukarno menasbihkan diri sendiri sebagai presiden seumur hidup.
Akhir dari kisah kekuasaan Sukarno adalah tragedi. Ia digulingkan oleh demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang tidak bisa lagi dikendalikan. Legasi Sukarno sebagai proklamator tercoreng oleh tipuan kekuasaan yang membuatnya terlena.
Soeharto melakukan koreksi terhadap Sukarno. Tetapi, yang dilakukan tidak lebih baik. Soeharto juga memusatkan kekuasaan di tangannya dan mengendalikan negara dengan pendekatan top-down yang otoriter. Soeharto terobsesi oleh stabilitas sebagai prasyarat pembangunan, dan stabilitas itu dicapainya dengan menekan kebebasan rakyat.
Belajar dari Habibie
Pak Bill menyarankan Jokowi belajar dari kearifan Habibie yang mengubah pendekatan top-down menjadi bottom-up. Memberi kebebasan demokrasi kepada rakyat supaya bisa mempergunakan kebebasan dengan lebih bijaksana. Dengan demokrasi dan kebebasan itu Habibie akan membangun ekonomi dan kesejahteraan berbasis masyarakat madani yang demokratis.
Stabilitas politik dicapai kalau rakyat punya kebebasan dan kesejahteraan. Stabilitas tidak perlu dipaksakan dari atas dengan berbagai rekayasa, karena stabilitas paksaan seperti itu rapuh dan sangat mudah ambruk. Kalau masyarakat madani yang demokratis sudah tercapai, stabilitas akan muncul menjadi sebuah sistem yang tidak bergantung kepada kepemimpinan perorangan.
Pak Bill menyebut ‘’Sesepuh Bangsa’’ tetapi tidak eksplisit menyebut nama. Secara implisit Pak Bill merujuk Habibie sebagai Sesepuh Bangsa dengan sikap kenegarawanan yang bijaksana. Pak Bill menyebut Habibie sebagai presiden demokratis pertama dalam era Reformasi.
Mengapa? Karena Habibie adalah presiden pertama dalam sejarah Indonesia merdeka yang menyerahkan nasib politiknya kepada suara rakyat. Setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR hasil pemilu demokratis 1999, ia langsung menarik kembali pencalonannya untuk masa jabatan 1999-2004.
Jokowi harus belajar pada kearifan Habibie. Itulah pesan Pak Bill. Tegas dan jelas. Jika tidak, maka demokrasi Indonesia berada dalam bahaya. Ancaman yang dihadapi demokrasi Indonesia kini begitu nyata, tetapi solusinya juga begitu terang.
Apa itu? Pemilu diadakan sesuai jadwal, dan masa jabatan kepresidenan harus tetap dipertahankan 2 periode. Mudah-mudahan Jokowi mengikuti nasihat Pak Bill. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni