Menyikapi Kehidupan yang Tidak Satu Warna
Kalau kita ambil sari dari penjelasan dari Ustadz Saad tadi, bahwa surat al-Insyirah ini sesungguhnya bisa ditarik menjadi cara pandang, perspektif, atau paradigma, yang merujuk pada Islam. Satu surat saja yakni surat al-Insyirah bagaimana kita menyikapi kehidupan yang tidak selalu satu warna.
“Yang tidak selalu verbal, yang tidak selalu wujudnya di permukaan bisa kita baca, rasakan, dan kita alami. Tetapi kadang kita gagal untuk menghadapinya, untuk mencari makna dibaliknya, lalu melahirkan orientasi pandangan, sikap, dan tindakan kita dalam menghadapi, entah itu peristiwa maupun apa yang kita jalani secara pribadi. Apa itu?,” tanyanya.
Dari al-Insyirah, lanjut dia, kita bisa melihat dialektika, yang kata Hegel, di mana ada tesis, antitesis, dan sintesis. Itu suka terjadi.
“Kalau eklektika, dari teori Webber, kalau ada satu peristiwa lalu muncul peristiwa kontra, tidak selalu peristiwa kontra itu sebagai reaksi terhadap peristiwa aksi, tetapi bisa merupakan satu proses lanjutan, atau perubahan atau interkoneksi yang bisa saling berbeda atau saling berbenturan dan juga kesamaan,” paparnya.
Satu Kesulitan Dua Kemudahan
Tadi simpel kan, di satu pihak Nabi itu diilustrasikan memiliki beban yang berat. Wa wadha’na ‘anka wizrak, lalu nabi diangkat, wa rafa’na laka dzikrak, di ayat pertama tentang nikmat. Nah, ekletik atau pergerakan antara satu nikmat dan satu beban. Yang kemudian diulang oleh Allah dalam ayat kelima dan keenam, fa innamaal usri yusra, innamaal usri yusra.
Bahwa di balik kesulitan itu ada kemudahan. Tadi At Thabari, Qurthubi, maupun Ibnu Katsir ada mengaitkan juga dengan pendekatan bayani, di mana al-usra itu ismum makrifat, kata yang definitif, karena kata mereka, kesulitan itu mudah dikenali dan biasanya tertentu dan kita biasanya berhadapan dengan realitas langsung.
Tetapi rezeki, anugerah, atau kemudahan itu sesuatu yang indefinitif, yang bisa lebih banyak dari itu. “Jadi satu kunci kesulitan seperti yang disampaikan Pak Saad, itu kemudian diganti dengan dua kemudahan, bahkan lebih dari dua kemudahan. Sampai entah at Thabari atau Ibnu Katsir merujuk pada satu dua hadits, jika kesulitan itu masuk ke lubang terdalam, kemudahan selalu menyertainya,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni