Manfaatkan Jaringan
Menurutnya, kita merasa kurang karena belum memanfaatkan jaringan. “Hablum min an-nas itu menurut saya terjemahannya network, jejaring,” terangnya.
Kalau tidak pakai jaringan, kata Prof Mu’ti, maka akhirnya dhuribat ‘alaihimudz-dzillatu—potongan Ali Imran ayat 112—di mana-mana ditimpa kehinaan. Banyak teman tapi tak pernah berinteraksi.
Maka, Prof Mu’ti menekankan, “Fleksibilitas kita dalam mengelola kepegawaian juga menjadi kunci. Bisa saja Pak Rektor menugaskan dosennya di ranting mana, tidak mengajar, tapi dibayar full sebagai dosen.”
“Muhammadiyah fleksibel karena bukan negara. Kalau negara susah itu bisa menjadi temuan. Kok bisa disajikan sebagai dosen. Kalau Muhammadiyah, asal kita tahu tidak korupsi bisa kita benarkan. Selama ini kan belum,” tambahnya.
Dirikan AUM Berbeda
Prof Mu’ti menyatakan, “Seringkali saya melihat ada cabang yang adil dan makmur, tapi cabang sebelahnya ajur.”
Maka dalam gagasannya, dia bertanya, bisakah Muhammadiyah berkomunikasi untuk mendirikan amal usaha yang tidak sama. “Kalau cabang terdekat sudah punya klinik, cabang sebelah jangan bikin klinik. Nanti mati kabeh (semua)!” tuturnya.
Menurut Prof Mu’ti, kadang warga Muhammadiyah masih kanibal. “Sesama Muhammadiyah saling berebut,” ungkapnya.
Maka dari itu, ketika Universitas Muhammadiyah Lamongan berdiri, Prof Mu’ti menayakan berapa jaraknya dengan Universitas Muhammadiyah di Gresik, Surabaya, dan Sidoarjo.
Menurutnya, Muhammadiyah harus lebih sistematis dalam bergerak. “Sementara kita itu masih konvensional. Namanya bikin amal usaha selalu sama. Nek ora sekolahan, rumah sakit, panti asuhan. Padahal amal usaha tidak hanya itu kan?” ujarnya.
Untuk menghadirkan ide-ide amal usaha baru, menurutnya perlu juga mengakses informasi baru. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni