Dua Kritik Muhammadiyah
Prof Mu’ti menyatakan, para tokoh Muhammadiyah sudah mengkritisi beberapa hal dari RUU Sisdiknas tersebut. “Sementara, dua yang saya kritisi,” ujarnya.
Pertama, dia mengkritisi perihal tidak adanya penyebutan madrasah dalam RUU itu. Padahal di UU No. 20 tahun 2003, madrasah disebutkan secara eksplisit.
Kedua, UU No. 20 Tahun 2003 menurutnya sudah memberi jaminan kepada madrasah sebagai bagian sistem pendidikan nasional, juga mulai mengarah pada pemenuhan ketentuan UUD tentang suatu sistem pendidikan nasional.
“Sehingga, sekarang kurikulum madrasah itu 100 persen kurikulum sekolah ditambah kurikulum madrasah. Kemudian akreditasinya juga 100 persen sama, ujian nasionalnya sama, sehingga pengakuan atas madrasah itu semakin kuat. Madrasah itu ada lebih dulu sebelum sekolah!” terangnya.
Madrasah di Penjelasan?
Prof Mu’ti menyatakan sudah pernah menulis ini di salah satu media. Setelah menulis itu, katanya, dia mendapat telepon. “Pak Dirjen telepon, katanya madrasah dimasukkan ke dalam penjelasan. Tapi ketika saya baca UU No. 15 tahun 2019, penjelasan hanya berisi tiga hal,” imbuhnya.
Pertama, penjelasan atas istilah asing yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia atau istilah yang mungkin menimbulkan salah penafsiran. Kedua, penjelasan pasal-pasal krusial yang butuh penjelasan. Ketiga, penjelasan itu tidak mengikat norma dan UU yang merupakan turunan dari UU itu.
“Jadi memasukkan madrasah di penjelasan sama dengan meniadakan madrasah,” ujarnya menyimpulkan di hadapan para peserta Kajian Ramadhan 1443 PWM Jatim di at-Tauhid Tower Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Yang tidak mengerti, kata Prof Mu’ti, bisa mengatakan madrasah itu sudah termasuk di penjelasan. “Tapi bagi yang tahu, sebenarnya memunculkan wujuduhu ka adamihi (adanya madrasah sama halnya dengan tidak ada madrasah) yang ujung-ujungnya nanti madrasah tidak diurusi,” imbuhnya.
Dalam hal ini, menurutnya, Muhammadiyah yang jumlah madrasahnya sedikit justru semangat menyoroti hal ini.
Sedangkan yang madrasahnya banyak justru diam-diam saja. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni