Dampak Sikap Muhammadiyah
Prof Mu’ti menegaskan, “Begitulah sikap Muhammadiyah dan beginilah cara Muhammadiyah mengkritisi suatu UU yang merupakan amanat Mukmatar. Supaya kita melakukan jihad konstitusi dari hulunya. Jangan hanya di hilirnya!”
Dari hulu yang dia maksud yaitu sejak masih berupa naskah akademik juga penyusunan berbagai diskusi di DPR. “Bahkan pada waktunya, kalau kita anggap nggak cocok juga melakukan judicial review,” imbuhnya.
Dalam beberapa hal, dia menilai langkah itu berhasil. Misal pada UU Omnibus Law. Ada lima UU yang dikeluarkan dari Omnibus Law. “Itu salah satunya setelah Muhammadiyah diterima Pak Presiden. Kita memberi masukan juga dari yang ada,” terang pria kelahiran Kudus, 2 September 1968 itu.
Begitu pula ketika UU HIP dibatalkan seluruhnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. “Itu Karena Muhammadiyah kenceng, kemudian yang lain ikut ngencengi!” jelas dia.
Bukan Suka atau Tidak
Prof Mu’ti menekankan, ini bukan dalam persoalan suka atau tidak suka. Dia menuturkan, “Kalau boleh ada opsi jalan tengah, UU Sisdiknas (Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional) kalau mau direvisi jangan direvisi total. Tapi revisi minor seperti revisi UU perkawinan.”
Jadi, hanya beberapa pasal yang diubah. Pasal lain yang masih relevan tetap dipertahankan. “Yang sudah benar jangan diubah lagi!” imbaunya.
Ternyata, ini bukan kritik Prof Mu’ti yang terkahir. “Saya akan membuka lagi, tapi nggaksekarang bukanya. Tunggu pada waktunya!”
Terkahir yang dia tahu, RUU Sisdiknas belum masuk dalam prolegnas, sehingga tidak akan dibahas pada tahun 2022 ini. “Dalam sejarah perumusan UU tidak ada UU yang tiba-tiba masuk kalau tidak sangat urgen untuk ditetapkan,” jelasnya.
Akhirnya dia menyimpulkan, “Menurut PP Muhammadiyah, RUU Sisdiknas sekarang masih banyak yang relevan sehingga tidak urgen untuk diubah, apalagi menggabungkan tiga UU jadi satu UU.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni