Bukan Kasus Pertama
Kasus Harvey bukan yang pertama. Pada 2011 seorang legislator, Arifinto, dari PKS ketahuan mengakses film porno di tabletnya ketika sedang bersidang. Seorang fotografer memergoki hal itu lalu menjepretnya. Arifinto berkilah ia hanya sebentar membuka linkkiriman seseorang itu.
Sehari setelah kasus itu muncul di pemberitaan media Arifinto mengadakan jumpa pers dan menyatakan mundur dari keanggotaan DPR. Arifinto yang menjadi pengurus senior PKS juga menyatakan mundur dari keanggotaan partai.
Bukan itu saja. PKS secara terbuka meminta Arifinto juga melakukan taubat nasuha, dengan membaca istigfar minimal 100 kali selama 40 hari, dan membaca al-Quran minimal satu kali khatam dalam jangka 30 hari.
Arifinto juga diharuskan bersedekah kepada 60 orang fakir miskin, meminta tausiah kepada ketua Dewan Syari’ah Pusat selaku Mufti PKS, dan meminta maaf kepada seluruh kader, simpatisan, konstituen dan anggota DPR RI serta masyarakat.
Standar moral PKS tentu tidak bisa disamakan dengan standar yang ada di PDIP. Masing-masing orang punya standar moral yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Bagi PKS, kesalahan menonton film porno adalah pelanggaran moral yang sangat serius. Tapi, bagi PDIP menonton bokep saat sidang urusan rakyat adalah hal yang manusiawi.
Filusuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa dalam standar moral ada ‘’kategori imperatif’’. Bahwa moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin. Bukan sekadar masalah penyesuaian dengan aturan formal dari luar, baik itu aturan hukum negara, agama, maupun adat istiadat.
Dewan Kehormatan DPR mungkin saja membebaskan Harvery Malaiholo. Tapi, publik lah yang akan menjadi hakim yang adil bagi kasus ini. Publik akan melihat seberapa tinggi standar moral PDIP sebagai ‘’the ruling party’’, partai pemenang dan partai penguasa. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni