Tes Skolastik
Ika mengungkap, biasanya tingkat intelegensi dikaitkan dengan harga mati nilai yang siswa peroleh di sekolah. Dia lantas meluruskan, “Padahal kalau kita melakukan tes intelegensi, yang diukur adalah kecerdasan skolastik.”
Dia menerangkan, kecerdasan skolastik berkaitan dengan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk bisa mengikuti pembelajaran di sekolah. Seperti mengingat, berhitung, memahami informasi, dan lainnya.
“Kalau IQ-nya kurang, misal di bawah rata-rata, bukan berarti dia tidak bisa apa-apa, karena sesungguhnya banyak kecerdasan lain yang tidak selalu bisa diukur dengan tes intelegensi!” tegasnya.
IQ dan Prestasi
Ika juga meluruskan anggapan yang beredar bahwa IQ berbanding lurus dengan prestasi. Kenyataannya, tak jarang dia menemukan anak dengan tingkat IQ tertinggi di sekolah, tapi justru nilai-nilai pelajarannya tergolong rendah.
Penyebabnya, meskipun anak itu cerdas, tapi ternyata tidak punya motivasi belajar atau stimulasinya kurang. Mungkin karena di rumah orangtuanya sibuk atau mengalami masalah lain yang sampai memerlukan bantuan psikolog.
Maka, Ika menegaskan, untuk memaksimalkan IQ yang anak miliki, orangtua maupun guru perlu mengimbangi dengan stimulasi pembelajaran yang tepat dan motivasi (dorongan) belajar yang cukup. “Karena anak sudah punya kapasitas intelegensi,” imbuhnya.
Selain itu, dalam pemaparannya, Ika juga meluruskan beragam mitos lainnya terkait intelegensi dan membagikan cara-cara mengoptimalkan kapasitas intelegensi anak. Usai sosialisasi, wali siswa Berlian School juga mendapat kesempatan konsultasi secara individu dengan tiga tenaga Psikologi PLPK terkait hasil-hasil psikotes yang lebih mendalam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni