Tasawuf dalam Al-Quran dan Sunnah
Prof Syafiq menyatakan, dia tidak menemukan istilah teknis tasawuf—dalam artian cara hidup yang diajarkan para sufi—dalam al-Quran dan as-Sunnah.
“Kalau kita telusuri ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Nabi itu tidak ada ajaran yang kemudian hari disebut tasawuf sebagai sebuah disiplin, sebagai sebuah amalan tertentu, yang membedakan amalan-amalan yang lain,” terangnya.
Perkara dalam al-Quran dan Sunnah ada anjuran atau dorongan untuk bersyukur, bertawakal, zuhud, dan qanaah; menurutnya bukan berarti ajaran yang secara tradisional disebut tasawuf itu ada dalam al-Quran dan Sunnah.
Yang ada adalah pengamalan Islam yang komprehensif. “Kita tidak mungkin memahami Islam itu hanya satu ayat saja, yang menekankan kita harus menjadi orang yang sabar,” ujarnya.
Tapi di ayat yang lain, lanjutnya, kita didorong menjadi orang yang berjihad fi sabilillah. “Di ayat yang lain, kita didorong menjadi orang dermawan. Tapi di ayat lain kita didorong menjadi orang yang fantasiru fil ardhi, bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki,” imbuhnya.
Jadi, dia mengharuskan melihat Islam secara komprehensif dan mengamalkannya secara komprehensif, tidak terpisah-pisah.
Ajaran Keseimbangan
Prof Syafiq menegaskan, sesungguhnya Islam mengajarkan keseimbangan. “Tidak rasional melulu, tidak spiritual melulu, dan tidak temporal melulu, tapi semuanya seimbang!” terangnya.
Menurutnya, di sinilah Islam mendayung antara ghuluw (berlebihan) dan tafrith (pengabaian). Ghuluw merupakan sebuah cara, pemahaman, atau praktik beragama yang berlebihan.
Prof Syafiq mencontohkan, ketika Nabi menyatakan shalat itu bagus, maka ada sahabat yang berikrar akan shalat terus. Begitupula ketika Nabi mengatakan puasa itu bagus, ada sahabat yang berpuasa terus. Maka nabi melarang karena ada hak mata dan perut yang harus dipenuhi.
Sementara tafrith (pengabaian), berarti mengentengkan, menggampangkan, dan membolehkan semuanya. “Mau halal, mau haram semua ayat tersedia,” jelasnya.
Di samping itu, lanjutnya, Islam juga mengajarkan keseimbangan antara lahir dan batin, individu dan masyarakat, dan duniawi-ukhrawi. “Itulah yang nyata-nyata dicontohkan Nabi sendiri dalam kehidupan sehari-hari,” imbuhnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni