Pengalaman Spiritual Tokoh Muhammadiyah
Norma memaparkan konsep Ibnu Taimiyah yang kedua, yakni tentang ilmu pengetahuan. Pengetahuan ada tiga. Pertama, yang bisa dicari dengan akal (kehidupan dunia).
Kedua, pengetahuan yang tidak bisa dicari dengan akal, tapi bisa dijangkau dengan ketaatan ibadah. Seperti mengapa kita harus shalat lima kali sehari atau puasa setiap Ramadhan.
Selama sepuluh tahun masa jabatannya menjadi Ketua LPCR, Norma menjumpai tokoh-tokoh cabang-ranting yang punya pengalaman spiritual luar biasa versi Muhammadiyah. “Bukan versi sufi,” tegasnya.
Dia mencontohkan, ada Kampung Muhammadiyah di Yogyakarta. “Ketua PRM-nya alumnus Perancis, beliau pernah suatu ketika mendapat musibah program,” ungkap Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Ketika ketua itu membangun sekolah, sudah tanda tangan dengan kontraktor, tiba-tiba biaya membengkak dua kali lipat. Padahal sang ketualah penanggung jawabnya.
Mereka baru tahu bangunan itu tidak ada akar besinya, sehingga bangunan sekolah harus dibongkar dengan biaya dua kali lipat. Ketika berhadapan dengan situasi berat itu, satu per satu temannya mundur. “Karena temannya semakin hilang, beliau semakin intens shalat malam dna berdzikir,” terangnya.
Hingga akhirnya beliau tergerak hatinya mencari donatur dan menyelesaikan persoalannya. Norma menyimpulkan, “Spiritualitas kita bukan dalam bentuk yang aneh-aneh, kalau kita taat menjalankan ibadah, meminta kepada Allah dengan sabar dan shalat, ada jalan!”
“Bukan karena kita rajin wirid, rajin ziarah ke sana ke mari, tidak! Tetapi karena kita punya kredibilitas yang solidaritas sebagai aktivis, personal, dan Muslim. Akidah kita matang, ibadah kita stabil, kepribadian kita juga stabil,” tambahnya.
Sedangkan jenis ilmu ketiga menurut Ibnu Taimiyah adalah ilmu yang tidak terjangkau oleh manusia. Karena itu, dia mengimbau, “Kita harus yakin, malaikat ada yang sayapnya satu, dua, tiga, itu kita terima saja, nggak usah dirasionalkan!” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni