PWMU.CO – Menjelang akhir Januari 2017 ini, Kementerian Agama (Kemenag) menggulirkan gagasan sertifikasi khatib khutbah Jum’at. Menanggapi rencana tersebut, Wakil Sekretaris Pimpinan Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, DR Biyanto, menilai kebijakan ini kurang tepat secara substansi maupun waktu.
(Berita terkait: Soal Sertifikasi Khatib Jumat, Muhammadiyah Anggap Bukan Urusan Negara dan Pendataan Ulama oleh Aparat Bisa Ditafsirkan sebagai Bentuk Intimidasi)
“Kurang tepat kalau pemerintah terlalu jauh mengatur standarisasi atau sertifikasi khatib shalat Jum’at,” katanya kepada pwmu.co. Kekurangtepatan rencana sertifikasi khatib, tambah Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, tentu saja jika diniati oleh pemerintah untuk membatasi ruang mubaligh. “Kalau tujuannya untuk membatasi ruang mubaligh, pasti tidat tepat.”
(Baca juga: Daripada Urus Sertifikasi Khatib, Ada Masalah Penting Lain yang Perlu Ditangani Kemenag dan Apa Beda Islam Indonesia dan Timur Tengah? Inilah Jawabannya…)
Apalagi jika program standarisasi itu dilandasi niat curiga, tambah Biyanto, program ini semakin menjadi tidak relevan dengan kondisi kekinian. “Ingat, suasana kehidupan umat sekarang sangat sensitif,” urainya tentang kondisi psikososial masyarakat
Dalam pandangan masyarakat yang sangat sensitif ini, kata Biyanto, program sertifikasi mubaligh bisa dipahami sebagai bentuk kecurigaan pemerintah pada ulama. “Karena itu, pemerintah harus berhati-hati dan berempati dengan suasana kebatinan ulama dan umat Islam.”
(Baca juga: Khatib Jumat yang Ber-HP dan Lempar Humor dan Jamaah pun Semburat Berlarian Cari Aman Ketika Khutbah Masih Berlangsung)
“Lebih baik energi dan anggaran pemerintah digunakan untuk pelatihan da’i atau mubaligh. Jadi lebih pada peningkatan kapasitas mubaligh,” urai Biyanto tentang alternatif program. Pada aspek inilah mubaligh perlu ditingkatkan, juga soal metode ceramah supaya dakwah kita komunitakif.
“Kalau sertifikasi mubaligh dengan tujuan peningkatan kapasitas dan metode, bisa dipahami. Bahkan harus dilakukan,” tambah Biyanto. Dengan catatan, program semacam ini bukan bertujuan untuk membatasi ruang mubaligh, apalagi dilandasi oleh niat curiga.
(Baca juga: Ini Beda Gaya Sarungan Warga Nahdliyin dan Muhammadiyah dan Tipe-Tipe Warga Muhammadiyah versi Abdul Mu’ti)
Sebagaimana diketahui, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mewacanakan program sertifikasi penceramah khutbah Jumat. Seorang khatib, kata dia, harus memenuhi kualifikasi cukup untuk menjadi pembicara yang ilmunya bisa diserap umat.
“Sekarang Kementerian Agama bekerja keras untuk merumuskan apa kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah itu,” ujar Lukman di kompleks PTIK, Jakarta, Kamis (26/1).
(Baca juga: Ini Jawaban, Mengapa Jumlah Kyai di Muhammadiyah Semakin Menurun dan Putra Tokoh NU Itu Pimpin Pemuda Muhammadiyah Sukodadi)
Dengan demikian, kata Lukman, tak sembarang orang bisa menjadi penceramah karena nantinya akan ada semacam sertifikasi bagi penceramah yang dianggap layak dan memenuhi kualifikasi.
Yang penting, kata dia, materi dalam ceramah itu harus mendidik dan tidak boleh menyerang satu kelompok tertentu. “Yang harus digarisbawahi, ini bukan kebijakan pemerintah. Ini baru gagasan yang lalu direspons oleh Kementerian Agama,” papar Lukman. (abqaraya)