Cha Guan Sekul oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jatim.
PWMU.CO– Novi Basuki dalam YouTube series Cha Guan bersama Fathan Sembiring kini menjadi personal duo penyambung lidah China yang sangat fasih.
Keduanya berusaha meyakinkan bahwa China layak dijadikan sekutu. Keduanya juga fasih mengutip hadits dan Quran serta hasanah Islam lainnya. Bahkan keduanya mencoba meyakinkan audiens muslim Indonesia, bahwa dalam banyak sisi, China lebih islami daripada Indonesia.
Seperti saya 45 tahun silam menjadi pengagum AS dan Barat, kedua anak muda itu kini menjadi pengagum China. Dalam tubuh saya sendiri mengalir darah China dari seorang perempuan China di zaman Diponegoro.
Perang dingin membuat citra China buruk di Indonesia, apalagi setelah peristiwa G30S/PKI.
Kedua anak muda itu memiliki pengalaman hidup dan belajar di China cukup lama. Sementara saya hampir saja berangkat ke AS pada 1980 melalui beasiswa American Field Service, namun gagal.
Dugaan saya, AFS sulit menemukan keluarga AS yang mau menerima saya sebagai muslim saat Islam bercitra buruk akibat peristiwa Revolusi Islam Iran.
Kini China telah bangkit sebagai raksasa ekonomi, teknologi, dan militer. Fareed Zakaria bahkan sudah menskenariokan sebuah dunia baru tanpa hegemoni AS, a Post-American World.
Apakah kita menuju ke Pax Sinaeca setelah Pax Americana surut? Hanya waktu yang akan menentukan. Setelah Perang Dunia I dan revolusi Bolshevik berhasil memberi pukulan terakhir atas kekhalifahan Turki Otoman, dunia telah jatuh ke hegemoni Inggris as an unfinished bussiness.
Perang Dunia II menuntaskan urusan yang belum selesai ini dengan kebangkitan Pax Americana beserta seluruh paketnya: PBB, IMF, WB sebagai satu Tata Dunia Baru yang sekuler. Setelah Uni Sovyet runtuh di awal 1990-an, China hadir di latar belakang pentas dunia hingga akhir abad 20.
Sejak Deng Xiao Ping mengambil alih kepemimpinan China, negara ini berangsur berhasil membangun kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer. Bahkan surat hutang pemerintah AS selama 20 tahun terakhir banyak dibeli oleh China.
China mengadopsi kapitalisme AS dengan penyesuaian tertentu yang cerdik sambil menolak demokrasi. Apakah eksperimen politik komunis dan ekonomi kapitalis China ini berhasil, kita akan lihat buktinya beberapa tahun lagi.
Yang jelas, AS sedang mengalami kemunduran demokrasi, dan ekonomi. Domimasi teknologi dan militernya juga mulai ditantang oleh China.
Dengan kapitalismenya, AS terbukti gagal mewujudkan cita-citanya sendiri. Pada saat kapitalisme menghasilkan kesenjangan ekonomi yang parah, diskriminasi rasial yang persisten, demokrasi menjadi omong kosong belaka.
Mungkin inilah yang membuat China sangat percaya diri dengan mengadopsi kapitalisme tanpa demokrasi.
Sementara itu bagi Novi Basuki dan Fathan Sembiring lewat Cha Guan serinya, public liberty yang minimalis di China dianggap tidak penting. Kemakmuran material dan spiritual dalam makna sekuler sudah cukup dan bisa diterima.
Penting dicatat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang well secularized walaupun secara resmi menyebut dirinya sebagai masyarakat Pancasila.
Ini adalah buah dari proyek sekulerisasi besar-besaran sejak Orde Baru hingga hari ini. Tidak mengherankan jika gerakan Islam yang apolitis sangat populer pada saat Islam politik langsung dicap radikal.
Instrumen sekulerisasi ini adalah institutional duo yaitu persekolahan paksa massal dan televisi. Keduanya adalah instrumen teknokratik untuk menyiapkan masyarakat buruh yang cukup trampil menjalankan mesin pabrik, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi majikan asing, hidup dalam utang ribawi, sambil bebas bermimpi masuk surga.
Baik Novi maupun Fathan mungkin tidak tahu, bahwa Pancasila kini sudah dikubur di bawah kaki kaum sekuler kiri radikal sambil menebar isu bahwa Pancasila seolah masih ada dalam ancaman Islam. Adalah sekulerisme yang menempatkan Islam dalam posisi radikal by default.
Kedua anak muda ini mungkin masih mendaftar bukti baru bahwa sekulerisme versi-China ini berhasil. Keduanya tidak perlu menunggu Godot.
Gunung Anyar, 25 April 2022
Editor Sugeng Purwanto