Nikah sebagai Laboratorium Teori Perjuangan Sosial
Perjuangan keras seseorang dalam wilayah sosial, kesabaran, dan keuletan merawat sebuah tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya, tentu mempunyai nilai. Bahkan, nilai substansinya akan berbeda lagi apabila selain bisa menunaikan semua tugas itu di rumah, ia juga berhasil membina keharmonisan rumah tangga.
Orang seperti ini telah berjuang melalui pertarungan di lembaga pernikahan yang harus ditunaikan, setidak-tidaknya tidak mengecewakan. Sementara di wilayah perjuangan sosial, dia tetap bisa konsisten.
Lembaga pernikahan bisa dibaca sebagai laboratorium yang dapat digunakan untuk melakukan pengujian teori-teori perjuangan sosial dan kedewasaan dalam bercinta dengan pasangan. Termasuk bagaimana mendamaikan cinta terhadap saudara-saudara, istri/suami, ayah/ibu, mertua, dan juga kecintaan atas sesama dalam bingkai perjuangan sosial.
Sebagian besar orang mengakui lembaga pernikahan, dan lembaga ini menempati struktur tertib sosial yang kuat di dalam semua bangsa dan suku. Tanpa terjun langsung untuk merasakan lembaga ini, maka membicarakan problem kehidupan dan perjuangan sosial akan lebih terasa muluk-muluk dan melangit. Tidak riil. Terlalu gampang berteori, tetapi melaksanakannya di tengah pertarungan kepentingan yang ada dalam diri tentu sulit. Bukankah orang rela korupsi miliaran, beberapa di antaranya, karena alasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga? (Ridwan: 2005).
Kendati, bisa jadi juga, pernikahan mendatangkan penderitaan besar dan berkepanjangan yang mungkin tidak akan diperoleh oleh mereka yang tidak menikah. Mungkin, akibat salah kelola, atau salah sejak semula, tidak sedikit keluarga menjadi arena pertunjukan berbagai kisah derita dan rupa-rupa malapetaka. Masalah silih berganti susul-menyusul seolah tak mau henti.
Alhasil, dengan rumah tangga, orang bisa memperoleh kebahagiaan besar dan dengan rumah tangga pula orang bertemu dengan duka lara dan malapetaka besar. Dengan berumah tangga, orang menemukan ketenangan hidup. Dengan berumah tangga pula orang bersua dengan keresahan dan kehancuran hidup.
Total jenderal (secara keseluruhan), dunia keluarga adalah dunia segala-galanya (Faridl: 2006). Karena itu muncul ungkapan, “Rumah tangga adalah biduk, suami sebagai pendayung dan istri sebagai pengendali, keharmonisan antara pendayung dan pengendali, mempercepat biduk sampai di pulau harapan, ketidakharmonisan di antara keduanya, menjadikan biduk pecah di tengah samudra dihantam petaka.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni