Lebaran, Matan Terbit dengan Edisi Sufisme dan Spirit Teologi Insyirah, oleh Miftahul Ilmi, wartawan Matan.
PWMU.CO – Pendekatan sufistik diperlukan dalam upaya mencari makna di balik sebuah peristiwa. Sufisme atau yang juga dikenal dengan ilmu tasawuf, percaya bahwa Allah tidak mungkin berbuat dzalim kepada makhluknya. Apapun yang terjadi, maka di sana ada keadilan tuhan. Kepercayaan tersebut menjadi sangat penting supaya manusia tidak berburuk sangka kepada Sang Pencipta. Ajaran tasawuf ini sejalan dengan makna yang terkandung dalam Surat Al Insyirah yang menekankan bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan.
Inti Surat Al-Insyirah
Dalam Kajian Ramadhan 1443 H yang digelar PWM Jatim di at-Tauhid Tower Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Ahad (3/4/22), dengan tema Teologi Insyirah, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Dr M Saad Ibrahim berpendapat, inti dari seluruh Surat al-Insyirah adalah pembelajaran untuk Muhammad SAW agar senantiasa bersyukur karena Allah telah melapangkan dada nabi. Sedangkan dalam sufisme atau tasawuf, bersyukur juga menjadi salah satu sifat yang utama dalam menjalankan kehidupan.
“Allah melapangkan mindset Rasulullah atas segala kesulitan yang dialaminya di Kota Mekkah. Berupa rintangan, gangguan, pengusiran, dan boikot. Masalah itu berat bagi Rasulullah, namun begitu Allah melapangkannya, semua dapat dilalui. Maka surat al-Insyirah mempunyai sesuatu yang tersembunyi yang ditujukan kepada Nabi kita agar beliau bersyukur, bersyukur, dan beryukur kepada Allah. Kalau nabi kita saja diperintahkan seperti itu, maka kita sebagai umatnya harus jauh lebih banyak lagi bersyukur,“ tutur Saad.
Hubungan Sufisme dan Teologi Insyirah
Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah Profesor Syafiq Mughni menemukan adanya hubungan antara ajaran sufisme dengan teologi insyirah dalam kaitannya dengan pencarian makna di balik peristiwa.
Dalam teologi insyirah, manusia harus selalu bersyukur terhadap segala peristiwa yang terjadi. Kemudian meyakini bahwa akan tiba titik terang setelah datangnya ujian. Begitu juga dengan ajaran tasawuf, yang percaya jika Allah selalu memberikan keadilan dalam setiap kejadian.
“Semula saya berpikir panjang untuk mencari hubungan antara teologi insyirah, makna di balik peristiwa, dan tasawuf. Kalau kita hendak mencari makna di balik peristiwa, salah satu di antaranya adalah kita menggunakan pendekatan sufistik. Pertama adalah keyakinan bahwa apapun yang kita alami, maka di sana ada keadilan tuhan,” ujar Syafiq.
“Kedua adalah keharusan mengambil hikmah. Misalnya pada masa pandemi ini, kita diajarkan untuk mengambil hikmah yang sebanyak-banyaknya. Kemudian kita juga harus bersyukur kepada Allah. Karena apa yang kita terima tentu semuanya akan bermanfaat dan datang dari Allah, dan kewajiban kita adalah bersyukur. Tetapi di samping itu adalah kita harus bersabar, karena inilah yang menjadi benteng rohani kita di dalam menghadapi ujian ini. Dan kemudian ada keyakinan atas insyirah: Bahwa setiap kesulitan ada kemudahan,” sambungnya.
Perkembangan Sufisme
Syafiq menerangkan, semenjak wafatnya Nabi, ajaran sufisme terus mengalami perkembangan. Bahkan, beberapa di antaranya kemudian menjadi terorganisasi atau disebut juga dengan istilah tarekat.
Sebagai kelompok tasawuf yang terorganisasi, tarekat memiliki sejumlah unsur. Yakni sanad, mursyid, murid, dan wirid. Selain tarekat, berkembang pula tasawuf urban (urban sufism).
“Tasawuf urban umumnya ada di perkotaan. Tidak pakai tarekat. Acara-acaranya serba spiritual. Menyangkut hati. Ini sudah banyak diteliti. Mungkin karena kesemrawutan hidup, mereka lalu terjun di dunia tasawuf. Contohnya adalah kelompok pengajian Ustadz Arifin Ilham,” katanya.
Lalu seperti apa sikap Muhammadiyah terhadap ajaran tasawuf dan tarekat? Selengkapnya baca di Majalah MATAN edisi Mei 2022. Info pemesanan: 08813109662 (Oki). Kunjungi juga www.majalahmatan.com. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni