Oligarki Merampas Masa Depan Mahasiswa oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jatim.
PWMU.CO– Tiga agenda Reformasi 1998 yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan pemberantasan korupsi, sekarang ini praktiknya makin jauh dari harapan.
Demokrasi liberal yang terwujud telah menyebabkan biaya politik yang makin tinggi sehingga menyebabkan perselingkuhan elite poltik dengan para taipan. Bangsa ini justru makin menjadi jongos dan negara semakin kehilangan kedaulatan tertimbun utang yang makin menggunung. Tujuan bernegara telah dibajak oleh oligarki politik dan ekonomi.
Pembajakan itu terjadi justru saat bangsa ini sedang dianugerahi bonus demografi. Yaitu golongan berusia produktif paling besar. Golongan usia produktif itu pemuda dan mahasiswa. Sayangnya golongan ini kini tidak menyadari bahwa masa depannya telah digadaikan oleh para oligarki melalui serangkaian maladministrasi publik. Yaitu praktik pembuatan regulasi dan penafsirannya bukan untuk kepentingan publik pemuda, tapi untuk kepentingan oligarki.
Kesalahan kebijakan merespons pandemi, manipulasi sejarah, sistem pendidikan yang hanya menjadi instrumen penjongosan, telah menyebabkan significant learning loss yang berpotensi mengubah bonus demografi itu menjadi bom demografi.
Paparan internet yang berlebihan, dan kecanduannya telah menyebabkan kehilangan pengalaman ruang 3-dimensi dan waktu pada para pemuda kita. Padahal pengalaman seperti itu sangat penting dalam pendidikan yang bermakna yang memerdekakan.
Menyusutkan ruang 3-dimensi menjadi 2-dimensi adalah perampasan kemerdekaan sebagai ruang ekspresi. Pada saat kita masih gagap untuk meninggalkan paradigma schooling ke paradigma learning, digitalisasi kehidupan atau 2-dimensionalisasi telah mengasingkan mereka dari kenyataan sebagai pengalaman ruang-waktu yang diperlukan dalam belajar untuk merdeka sebagai papan lontar leadership mereka kelak.
Sebagai pemimpin masa depan, pemuda perlu terpapar dengan banyak pengalaman dalam proses belajar mereka untuk making sense of their rich experiences. Pengalaman yang penuh tantangan fisik dan mental serta spiritual akan menjadi bekal penting sebagai pemimpin.
Seiring dengan itu, mereka juga perlu relating with peoples untuk membentuk personal branding. Setelah itu perlu visioning yaitu membangun imajinasi yang bisa ditawarkan sebagai mimpi bersama bangsanya.
Tjokroaminoto
Terakhir mereka harus memulai innovating, bekerja keras untuk mewujudkan visinya tersebut. Adalah HOS Tjokroaminoto yang memancing Soekarno, Muso, dan Kartosoewirjo untuk membangun visi Indonesia merdeka.
Sementara itu, para oligarki sibuk memastikan bahwa para mahasiswa disibukkan oleh agenda pragmatis jangka pendek seperti lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude, lalu menjadi profesional di sebuah BUMN atau multinational corporations dengan gaji dan tunjangan yang mentereng.
Sebuah visi dangkal yang tidak keliru tapi menyedihkan. Dosen-dosen pun sibuk memastikan mahasiswa dengan tugas akademik yang makin mengasingkan mereka dari masyarakat di sekitar mereka. Ben Anderson menyebut ini sindrom profesionaliasi kampus sebagai persiapan mental untuk patuh bekerja bagi kepentingan para majikan pemilik modal.
Pada saat segelintir oligarki menguasai lahan berjuta hektare untuk sawit dan tambang serta perumahan, dan jutaan keluarga muda mengais kavling sempit 100 m2 di pinggiran kota, kini terpulang pada mahasiswa sebagai agen perubahan apakah ketimpangan ruang ini masuk akal sehat mereka.
Apakah mereka sanggup keluar dari mimpi dua dimensi dan template kehidupan pragmatis sebagai profesional yang bekerja tekun bagi para oligarki? Atau menjadi manusia merdeka yang mengambil tanggung jawab memerdekakan bangsanya.
Bandar Lampung, 14 Mei 2022
Editor Sugeng Purwanto