Narasikan di Ruang Publik
Untuk itu, Prof Mu’ti menyatakan, berbagai narasi mengenai manhaj Muhammadiyah di ruang publik perlu kita lakukan. “Momentumnya, ketika ada ikhtilaf. Tapi di luar itu perlu terus menerus kita lakukan!” imbaunya.
Saat dirinya diwawancarai salah satu stasiun televisi tentang bagaimana pendapatnya tentang perbedaan kriteria Muhammadiyah dalam menetapkan hara raya kemarin, dia menjawab, “Akan lebih banyak terjadi perbedaan!”
Dia mencontohkan, Idul Adha nanti pun akan beda antara Muhammadiyah dan pemerintah. “Karena menurut perhitungan hisab, posisi hilal 1 derajat plus sedikit. Sementara kalau perhitungan pemerintah itu tiga, maka otomatis akan berbeda,” jelasnya.
Menurutnya, perbedaan pandangan Muhammadiyah ini nanti agak ‘tertolong’ karena Muhammadiyah sama dengan Arab Saudi. Maka, dia mengimbau, “Mulai sekarang harus dibangun narasi-narasi yang menjadi dasar hujjah Muhammadiyah kenapa menggunakan hisab. Itu argumennya perlu kita perkuat!”
Perbedaan Jadi Dakwah Muhammadiyah
Ternyata, dalam beberapa hal, walau sebagian kalangan merasa tidak senang dengan perbedaan itu, tapi menurutnya ini bisa menjadi bagian dakwah Muhammadiyah di ruang publik.
Termasuk soal perbedaan waktu shalat Subuh di Muhammadiyah yang 8 menit lebih lambat dari pemerintah. “Itu juga mendapat dukungan dari banyak pihak. Survei dari Litbang Kemenag menunjukkan responden dari Muhammadiyah hanya 15 persen. Tapi yang setuju dengan shalat Subuh Muhammadiyah itu sekitar 42 persen,” ungkapnya.
“Saya kira yang setuju ini bisa menerima argumen Muhammadiyah bukan karena terbiasa bangun siang,” candanya membuat peserta tertawa.
Begitupula dengan Idul Fitri dan Ramadhan. Pantauan Prof Mu’ti menunjukkan Muhammadiyah mendapat banyak apresiasi.
“Karena hisab lebih ilmiah, sehingga kelompok-kelompok yang selama ini ‘netral’, pro kepada Muhammadiyah. Hisab itu lebih memberikan kepastian dalam beribadah dan beragama,” jelasnya.
Kemudian, terkait Muhammadiyah dapat penguatan Gus Baha—hisab lebih didahulukan daripada rukyah—menurut Prof Mu’ti, adanya speaker dari kalangan nonmuhammadiyah diperlukan untuk memperkuat Muhammadiyah.
“Kembali pada semangat ukhuwah, mari memperkuat komunikasi dan meminimalkan kesalahpahaman!” ajaknya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni