Menjawab Persoalan Derajat Pria-Wanita dalam Pernikahan, merupakan bagian keempat dari buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi, karya Moh. Sulthon Amien.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim; Ketua BPH (Badan Pengurus Harian) Universitas Muhammadiyah Surabaya; Ketua Badan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya; dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – Para orientalis menilai, peranan suami dalam keluarga Islam sangatlah dominan. Sang istri dalam hubungan suami istri hanya berperan sebagai makhluk kelas dua yang tak punya hak apa-apa.
Pikiran itu diilhami oleh ajaran agama-agama terdahulu atau pranata masyarakat tradisional. Lihat saja pada zaman Romawi, seorang wanita tak punya nilai apapun selain sebagai pemuas nafsu belaka. Demikian juga pada zaman masyarakat Arab jahiliah, mempunyai anak perempuan adalah aib dan karena itu bayi tak berdosa tersebut wajib dibunuh.
Padahal, Islam justru diturunkan untuk merevisi pandangan yang keliru terhadap kedudukan wanita. Kalau saja menemukan salah satu ayat dalam firman Allah, para lelaki adalah pemimpin
atas kaum wanita (an-Nisa: 34), jangan lantas dipahami laki-laki membelenggu wanita dari sudut kehidupannya.
Kata qawwamuna, sering kali diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi seperti terbaca maknanya di atas, agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki. Walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan suatu aspek yang dikandungnya.
Atau dengan kata lain, dalam pengertian ‘kepemimpinan’ tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi qawamah atau kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami, tidak boleh mengantarkannya pada kesewenang-wenangan. Bukankah musyawarah merupakan anjuran al-Quran dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi keluarga?
Ada dua alasan yang ditemukan dalam lanjutan ayat di atas berkaitan dengan penugasan ini, yaitu, pertama, karena Alah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
Kedua, karena mereka (para suami diwajibkan) menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk istri atau keluarganya)
Alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah di balik setiap kewajiban ada hak?
Dari firman Allah yang lain, para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu deraiat atau tingkat di atas mereka (para istri) (al-Baqarah: 228).
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan kewajiban istri. “Karena itu,” tulis Syaikh Al Mufassirin (guru besar para ahli tafsir) Imam Ath-Thabari, mengatakan: “Walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, maksudnya adalah perintah bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat yang terpuji, agar mereka memperoleh derajat itu.” (Shihab: 2007).
Baca sambungan di halaman 2: Keseimbangan Peran