Setelah Nabi Wafat
Barulah setelah Nabi wafat, mereka mulai bebas berbicara dengan istri mereka (HR Bukhari). Umar, ayah Abdullah, menceritakan bagaimana perempuan sangat bebas berbicara kepada suaminya pada zaman Rasulullah.
Ketika Umar membentak karena istrinya membantahnya dengan perkataan yang keras, istrinya berkata, “Kenapa kamu terkejut karena aku membantahmu? Istri-istri Nabi pun sering membantah Nabi dan sebagian malah membiarkan Nabi marah sejak siang sampai malam.”
Ucapan itu mengejutkan Umar, “Celakalah orang yang berkata seperti itu.” Dia segera menemui Hafsah, salah seorang istri Nabi. Dia bertanya, “Betulkah sebagian di antara kalian membuat Nabi marah sampai malam hari? “Betul,” jawab Hafsah (HR Bukhari).
Ada peristiwa lucu. Seorang sahabat jengkel terhadap istrinya yang suka bicara banyak. Saking jengkelnya, sahabat ini mau memukulnya. Dia ingat bahwa memukul itu dilarang, kecuali jika dia melakukan nusyuz (menyeleweng).
Lalu dia bermaksud mengusirnya. Tetapi, itu juga tidak baik. Dia bingung. Akhirnya dia mendatangi Khalifah Umar bin Khaththab RA. Setelah mengucapkan salam, dia kemudian pulang lagi. Dia tidak jadi menghadap khalifah. Khalifah mendengar orang itu, dan memanggilnya
“Mengapa engkau kembali lagi? Apakah ada perlu denganku?”
“Betul, sebenarnya saya ingin mengadukan istri saya yang
cerewet. Ketika datang ke sini, saya melihat istrimu sedang memarahimu lebih lama dari istriku,” jawab sahabat itu.
Umar berkata, “Aku bersabar terhadap pembicaraannya
yang panjang. Karena istriku memasak makanan untukku, melahirkan anak-anakku dan mengasuh mereka. Padahal semua itu bukan kewajiban dia. Karena itu, aku rela bersabar menahan seluruh pembicaraannya yang tiada henti, karena banyak kewajiban yang dia lakukan sebetulnya bukan kewajibannya.” (Rakhmat: 1997).
Boleh jadi Allah mentakdirkan wanita berceloteh tidak pernah kehabisan narasi, itu merupakan jalan keluar menghamburkan emosi yang dipendamnya. Ketika emosi dibiarkan mengendap akan sangat berbahaya terhadap kesehatan mental dan berakibat fatal pula akan kesehatan fisiknya.
Ada dua pilihan bagi lelaki. Pertama, suka terhadap pasangannya yang kepala dingin, diam seribu bahasa, tidak berbicara kecuali ditanya. Kedua, agak ceriwis, banyak tanya kadang kelewat kritis.
Bagi suami yang waras tentu opsi kedua diambilnya, meski dengan berat hati. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni