Tembok Zulkarnain
Buya pun seolah menjadi tembok Zulkarnain untuk melindungi umat manusia dari aksi fasad (perusakan) Yakjuj dan Makjuj (Quran, Kahfi 94). Maka bagi saya, eksistensi kepemimpinan Buya 1998–2005 itu adalah rahmat Allah untuk Muhammadiyah.
Sikap tegas kokoh Buya ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh puritan Muhammadiyah seperti Prof Abdul Malik Fadjar. Tapi juga tidak sedikit yang kecewa, menentang. Terutama dari kalangan warga dan simpatisan Muhammadiyah yang sedang dilanda euforia politik.
Mengapa mereka kecewa? Karena kalau parpol didirikan atau setidaknya difasilitasi Muhammadiyah, dan pengurusnya boleh rangkap jabatan, maka akan menjadi parpol yang besar. Kalkulasinya sekitar 30 juta warga Muhammadiyah akan tumplek blek memilih parpol itu. Tentu saja ini kalkulasi awur-awuran. Tapi biasa politisi itu kalau ngobral optimisme kayak yak-yak’o.
Dari situlah badai fitnah mulai menghantam Muhammadiyah. Badai fitnah itu direbakkan kekuatan yang ingin Muhammadiyah lembek atau hancur layaknya menyiramkan bensin di bara api jerami. Buya pun mendapat hujatan habis-habisan.
Merebak isu bahwa Buya Syafii dengan Amien Rais pecah. Terlibat konflik hebat. Tentu saja spekulasi pepesan kosong. Buya itu seperti ikan tanpa tulang dan duri, mustahil mau konflik apalagi dengan kawan seiring dalam membesarkan Muhammadiyah.
Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005, Buya menyerahkan kepemimpinan kepada generasi muda yaitu Prof Din Syamsuddin. Buya mengikuti kaderisasi dalam regenerasi sebagai sunah Rasul. Rasulullah Muhammad menyiapkan kaderisasi Ali bin Abi Thalib. Ali kepada Hasan dan Husein dan seterusnya sampai nanti pada khalifah akhir zaman Muhammad bin Abdullah Al Mahdi.
Seusai purnatugas di Muhammadiyah, Buya memilih madek (menjadi) begawan atau resi. Ngamandita. Seperti seorang pertapa yang duduk sidikara di atas batu yang berada di tengah pertemuan dua samudra. Madek sepuh. Apa itu sepuh? Sepi hawa awas loro ning atunggil.
Sidikara Buya bukanlah seperti rahib yang sendirian bak embun di dedaunan yang segera kering manakala matahari merebaknya sinarnya. Melainkan proses lelaku untuk membina sepi hawa atau mengendalikan hawa nafsu. Sebab hawa nafsu akan mendorong kepada kesesatan.
“Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah”. (Quran, ash-Shad 26).
Hawa nafsu tidak pudar bersamaan dengan umur yang menua. Sampai ada istilah tua-tua keladi, tambah tua tambah kayak keledai eh .. semakin menjadi. Hawa nafsu hanya bisa dikekang, dikendalikan dengan lelaku.
Sidikiranya Buya adalah seperti duduknya matahari. Tetap memberikan cahayanya bagi kehidupan. Buya tetap memberikan nasihat kepada bangsa, umat sebagai pengamalan wa tawa shaubil haqqi wa tawa shaubis shabr. Wa tawa shabil marhamah (saling menasihati dalam kebaikan, kesabaran dan kasih sayang).
Hanya jiwa yang sudah sepi hawa nafsulah yang akan kembali kepada Allah dengan jiwa yang tenang (nafsul mthmainnah). Jiwa yang ridha, ikhlas bahwa segalanya berasal dari Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya (sangkan paraning dumadi).
“Wahai jiwa yang tenang
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya
maka masuklah ke golongan hamba-hamba-Ku
dan masuklah ke dalam surga-Ku”
(Quran, al-Fajr 27-30).
Semoga Buya termasuk golongan yang dirdha dan dirihai Allah. Sugeng kundur, Buya.
Astaghfirulla. Rabbi a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni